Selasa, 04 Agustus 2009

>Poboya: Potret Buram Pengelolaan Sumber Daya Alam



Poboya: Potret Buram Pengelolaan Sumber Daya Alam E-mailMedia
Media alkhairaat Selasa, 04 Agustus 2009

Oleh : Andika Setiawan
Kepala Divisi Advokasi dan kampanye WALHI Sulteng


Pertambangan Poboya adalah cerminan ekspansi kapitalisasi sektor sumber daya alam melalui keterikatan negara dalam kerjasama ekonomi berupa kontrak karya. Luas konsesi yang terdiri dari enam blok terpisah itu disebut-sebut merupakan cadangan potensial secara ekonomis dengan total cadangan 2 juta Ons. Kepemilikan kuasa ditangan PT. Citra Palu Mineral sebagai pemegang Kontrak Karya, anak perusahaan dari Perusahaan Trans Nasional Corperation, PT. Bumi Resources dengan Komposisi Kepemilikan saham 99,9 %. Dalam Laporan Kepemilikan saham tanggal 31 Desember tahun 2007 PT. Bumi Resources merupakan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuritas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan perusahaan Borjuasi yang juga birokrat nasional PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%.

Kawasan tambang Poboya menjadi sorotan publik setelah dipicu reaksi atas aktivitas penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat Poboya dengan menggunakan mesin tromol. Banyak kalangan menilai bahwa aktivitas itu tidak terkontrol dan terorganisir dengan baik sehingga dikhawatirkan akan mencemari lingkungan hidup. Pilihan saat itu adalah tambang Poboya ditertibkan sampai ada resolusi yang menjawabnya.

Respon cepat dari pihak pemerintah kota palu adalah dengan mengeluarkan kebijakan penertiban penambang tromol. Kebijakan yang dikeluarkan tersebut berupa penertiban atas aktivitas tromol dengan sasaran utama para penambang yang nota bene adalah masyarakat asli Poboya, dengan dibantu tenaga teknis dan modal pembangunan tromol dari sejumlah cukong asal sulut dan gorontalo. Namun ternyata kebijakan itu tidak mampu menjawab apa yang menjadi masalah dasar ditingkatan masyarakat Poboya. Sebaliknya mengancam alternative utama pekerjaan masyarakat yang menggantikan pekerjaan mereka sebelumnya. Bisa dibayangkan, Ketika PT. Bumi Resource masuk maka ancaman penghilangan sumber kehidupan masyarakat Poboya bisa benar terjadi.

Kebijakan pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam telah dibangun semangatnya melalui UU 1945 Pasal 33 dengan tujuan utama penguasaan negara untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat indonesia. Kenyataannya, UU No 11 tentang pokok pertambangan Tahun 1967 dan kemudian digantikan dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara menunjukkan hal yang sebaliknya dari semangat tersebut.

Hal ini dikarenakan, pertama Negara salah arah dalam menafsirkan hubungan negara dan masyarakat dalam era globalisasi. Sejak era orde baru pengelolaan sumber daya alam dimaknai dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar untuk tata kelola dan distribusinya. Akses sumber daya alam didekatkan pada kepentingan bilateral antar negara melalui sejumlah bentuk kerjasama bantuan Hibah Hutang maupun investasi bebas. Pintu liberalisasi pun dimulai sejak zaman itu di tandai dengan hadirnya kontrak karya generasi pertama.

Kedua, yang juga ikut melemahkan posisi negara menentukan kedaulatannya adalah hadirnya World trade Organisation (WTO), sebuah lembaga tempat berhimpunnya perusahaan Trans Nasional Corperation. Kebijakan WTO merupakan aplikasi dari sejumlah kesepakatan antar negara atau lebih banyak disebut sebagai pandangan neoliberalisme. Dimana setiap negara didorong untuk menyepakati liberalisasi dalam bentuk melepaskan pajak ekspor impor dalam kategori mineral, dan privatisasi sektor sumber daya alam secara luas.

Hubungan diluar negeri sering kali dijabarkan dalam bentuk kerjasama- bilateral antar dua negara. Baik dalam lapangan politik maupun dalam lapangan ekonomi. Sejak fase orde baru indonesia mulai memperkenalkan paham-paham kapitalisme dalam sejumlah icon kebijakan maupun slogan-slogannya seperti pembangunan. Indonesia sendiri merupakan negara yang terhitung masih muda dalam keterikatan terhadap pandangan kapitalisme.

Keadaan ini tidak dipahami pemerintah Republik Indonesia secara utuh dan terintegrasi dalam keputusan yang bersifat politis. Hal itu terbukti dengan lahirnya modernisasi yang berasal dari barat sehingga akan cenderung ke arah Westernisasi. Ini memiliki tekanan yang kuat dalam kebudayaan Indonesia, meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun setidaknya akan muncul ciri kebudayaan Barat dalam kebudayaannya (Schoorl, 1988). Modernisasi yang masuk melalui change agents (Harison, 1988), akan cenderung kepada homogenisasi sistem ekonomi, sehingga akhirnya modernisasi, pembangunan, dan kapitalisme satu sama lain akan memiliki arti yang semakin konvergen.

Ketiga, Keterlibatan negara dalam kebijakan fiskal dan moneter dunia telah menempatkan kondisi perekonomian negara dalam ketergantungan terhadap sistem besar globalisasi. Ancaman krisis dan ketergantungan terhadap iklim investasi atas pertumbuhan ekonomi menempatkan bangsa ini menjadi kacung tanpa power atas wilayah kedaulatannya sendiri.

Semangat didalam kontrak karya sebagai legalitas pengelolaan sumber daya alam dalam negeri bersifat hubungan lex spesialis (Hubungan Hukum Istimewa) antara pemilik modal dengan negara, sebagai legitimasi pemilik kekayaan sumber daya alam menurut UU 1945 Pasal 33. Secara politik disinilah awal mula ketergantungan diciptakan. Dimana semangat kapitalis sangat dominan dalam menentukan ciri dan mode pengelolaan sumber daya alam.

Jika Negara bertanggungjawab pada kesejahteraan rakyat dengan menerapkan pasal 33 UUD 45 maka Venezuela bisa menjadi gambaran istimewa kebijakan pengambilalihan kekayaan alam dari kuasa pemilik modal trans nasional. Indonesia bisa mengambil arah kebijakan ini melalui sejumlah pendekatan seperti divestasi, peninjauan dan nasionalisasi bagi untung atas hasil kekayaan alam. Untuk niat ini, sesungguhnya memang dibutuhkan power politik dan dukungan secara politik yang kuat dari rakyat indonesia sebagaimana yang telah dilakukan di Venezuela dan Iran. Itu dibuktikan dari usaha-usaha sejumlah negara yang ingin bernegosiasi atas pembagian hasil kekayaan alam yang selama ini hasilnya tidak dirasakan oleh negara dan rakyatnya seperti Venesuela dan Iran.

Pilihan kebijakan yang demikian bisa menjadikan Poboya sebagai kekuatan kebangkitan dan pengambilalihan kekayaan alam oleh rakyat di Sulawesi Tengah. Apalagi jika dilakukan melalui power politik kepala daerah sesuai Kepentingan otonomi, kedaulatan untuk mendorong Nasionalisasi atau paling tidak pembagian hasil secara adil dalam dimensi hulu-hilir 50 % total penghasilan produksi. Hal itu penting mengingat saat ini penguasaan sumber-sumber bahan baku menjadi agenda pokok dibeberapa Negara industrialisasi besar, selain pada upaya perluasan modal uang pada sektor industri strategis seperti pertambangan. Untuk itu, negara harus melihat ini sebagai sebuah pijakan posisi yang populis untuk menempatkan sumber daya alam negeri sebagai poin menuju kesejahteraan, dengan jalan panguasaan agar tidak terjebak kepentingan akumulasi yang konvergen dari pemilik modal trans nasional. Sehingga cita-cita mensejahterakan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam bisa terwujud, tidak hanya slogan semata.

Tidak ada komentar: