Jumat, 28 Agustus 2009

Tambang Poboya, Di Antara Pro Dan Kontra

Tambang Poboya, Di Antara Pro Dan Kontra

AKTIVITAS warga di mesin tromol yang ada di Kelurahan Kawatuna dan Poboya Kecamatan Palu Timur. Untuk mendapatkan emas, mesin ini yang memproses batu hasil galian tambang dengan menggunakan cairan merkuri. FOTO: OETAR/MS


Polemik yang Belum Berakhir (bagian 1)

SEJAK awal munculnya penyebutan tambang emas di Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur sudah menimbulkan pro kontra di tingkat LSM maupun masyarakat. Bahkan pemerintah daerah juga sudah turut terpolarisasi dalam pro kontra ini. Berikut catatan Mercusuar;

Oleh: Kusnadi Paputungan

Sekira tahun 1997-1998 silam, PT Citra Palu Mineral (CPM) anak perusahaan dari Rio Tinto telah melakukan eksplorasi tambang emas di Poboya setelah pemerintah pusat menyetuji kontrak karya (KK) untuk meneliti kuantitas dan kualitas mineral di kelurahn ini.

Awalnya, LSM maupun masyarakt setempat belum bereaksi dengan kegiatan ini, mungkin karena kondisi nasional saat itu lagi diperhadapkan dengan gerakan People Power (kekuatan rakyat) untuk sebuah perubahan yang disebut reformasi. Sehingga isu pertambangan di daerah belum mencuat ke kepermukaan.

Isu tambang Poboya mulai mencuat diawal tahun 2000-an, ketika Solidaritas Perjuangan Reforma Agraria (SPRA) Sulteng melakukan survey di lokasi eksplorasi tambang, sekaligus mengorganisir rakyat Poboya.

Dari hasil survey lapangan SPRA setidaknya disimpulkan, tambang perusahaan berskala besar di Poboya sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan. Alasan Pertama, hutan Poboya merupakan kawasan resapan air, dan menjadi salah satu sumber air bersih bagi warga Kota Palu, termasuk untuk mengairi persawahan dan perkebunan rakyat Poboya.
Olehnya menurut SPRA, aktivitas perusahaan tambang bisa mengganggu sistem hydrologi (tata guna air) di Poboya, dan Kota Palu.

Kedua, secara geografis, lokasi tambang ini berdekatan dengan kota yang hanya berjarak empat kilo meter dengan pusat kota.

Sehingga diprediksikan, aktivitas pengerukan, pengangkutan, hingga pembuangan tailing (limbah tambang) akan berdampak luas terhadap lingkungan maupun sosial. Apalagi hingga kini belum dipastikan dimana tailing dibuang jika tambang emas ini diolah oleh perusahaan.

Ketiga, jika perusahaan ini beroperasi, SPRA memastikan akan terjadi relokasi besar-besaran di Poboya. Dimana pemukiman masyarakat akan dipindahkan ke tempat lain yang berada di luar kawasan pertambangan.

Relokasi pemukiman ini juga turut disertai dengan pemindahan pengelolaan lahan perkebunan/pertanian dari petani ke perusahaan, karena sebagian lahan ini masuk di areal konsesi pertambangan.

Selanjutnya, upaya SPRA dalam mengorganisir rakyat Poboya agar menolak perusahaan tambang mendapat dukungan dari sejumlah LSM. Utamanya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas).

Di tengah terjadinya pro kontra antara masyarakat yang menolak perusahaan tambang dengan yang menerima. Salah seorang tokoh masyarakat Poboya yang getol menolak perusahaan tambang adalah Adjaliman yang juga sebagai ketua RT VII Poboya.

Dalam perjuangannya, Adjaliman mendapat dukungan dari sejumlah tokoh masyarakat dan pemuda. Bahkan dalam perjuangannya, rakyat Poboya mulai mewacanakan pengelolaan tambang secara tradisional. Namun wacana ini tidak serta merta terealisasi, karena sebagian tokoh masyarakat dan adat menerima perusahaan tambang mengeruk emas di Poboya, dengan alasan untuk kesejahtraan rakyat. (Bersambung)

Tidak ada komentar: