Kamis, 30 Juli 2009
Jika Emas Poboya Dikelola Secara Arif
Radar Sulteng
Sabtu, 25 Juli 2009
Jika Emas Poboya Dikelola Secara Arif
Wilianita Selviana *)
AKHIRNYA menelan korban jiwa, meski baru dugaan sementara karena kekurangan oksigen seorang penambang emas Poboya meninggal dunia Senin, 20 Juli 2009 yang lalu. Seperti halnya dengan kejadian di Desa Lobu, Parigi Moutong beberapa pekan lalu yang menelan 3 orang korban jiwa tetap tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus menambang. Begitu pula dengan masyarakat Poboya. Bukan hanya deposit emas Poboya yang terancam tetapi keselamatan para penambang juga terancam jika model kelola tambang emas Poboya masih seperti yang berlangsung saat ini. Persyaratan savety prosedur di lubang penambangan yang pernah disarankan oleh petugas dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Propinsi Sulawesi Tengah sepertinya masih kurang diindahkan. Begitu pula dengan pembatasan penggunaan unit tromol (amalgamisator) yang secara otomatis akan mengurangi penggunaan mercury (Hg) juga diabaikan. Justru jumlah unit tromol tersebut semakin bertambah banyak dari waktu ke waktu dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pengolahan material yang terus ditambang yang secara langsung memaksimalkan kapasitas produksi emas.
Motivasi ekonomi dengan peningkatan pendapatan secara signifikan yang dirasakan masyarakat penambang terus memacu aktivitas penambangan mereka dari hari ke hari. Hal ini dibuktikan melalui hitung-hitungan yang dilakukan oleh Lurah Poboya Aris, SE., bahwa dalam sehari kurang lebih 1.000 karung material batu yang mengandung emas diambil dari Poboya. Bila diasumsikan satu karung material menghasilkan 5 gram, maka dalam satu hari produksi emas Poboya dari hasil penambangan yang dilakukan masyarakat sebanyak 5 kg. Dan bila dirupiahkan, dengan asumsi 1 gram emas harganya Rp130 ribu atau Rp130 juta per kilogram, maka dalam sehari rata-rata penjualan emas di Kelurahan Poboya mencapai Rp650 juta (Radar Sulteng, Selasa 21/7/2009).
Sangat menggiurkan memang, hingga masyarakat Poboya rela beralih mata pencarian dari petani bawang dan jagung menjadi penambang emas. Padahal beberapa tahun sebelumya, menambang emas hanya menjadi pekerjaan sampingan atau menjadi alternatif ketika hasil panen kurang menghasilkan namun saat ini sudah menjadi sumber pencaharian utama bagi mereka. Bumi Resources (BUMI) pun demikian, melalui anak perusahaanya PT. Citra Palu Mineral (CPM) juga tidak henti-henti berupaya agar dapat melakukan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi emas di wilayah Poboya ini yang memang merupakan areal konsesinya. Coba bayangkan sejenak jika deposit emas Poboya tersebut dikelola oleh perusahaan besar berupa Trans National Corporation(TNC) seperti BUMI.
Pasti risiko lingkungan yang jauh lebih besar akan dihadapi di kemudian hari. Juga dapat dipastikan kontribusi yang minim bagi daerah dan masyarakat penambang. Selain itu juga, masyarakat penambang akan semakin sulit berebut wilayah kelolanya di dalam wilayah konsesi yang dieksploitasi perusahaan. Karena itu, penting bagi masyarakat Poboya menentukan kedaulatan atas pengelolaan sumber daya alamnya. Apakah akan menjadi bagian kecil dari satu industri pertambangan skala besar atau menjadi bagian yang besar dari satu aktivitas pertambangan skala kecil yang dikelola secara bersama-sama dan berkeadilan. Pilihan kedua itu akan sangat menarik untuk dipilih dengan memastikan bahwa aktivitas penambangan yang saat ini berlangsung di Poboya tidak dibiarkan begitu saja mengingat kerentanan kondisi ekologis wilayah Poboya dan sekitarnya. Poboya merupakan satu-satunya water catchments area yang paling besar di kota Palu, sehingga jika keseimbangan ekologinya terganggu maka dampak yang timbul akan sangat dirasakan tidak hanya oleh masyarakat penambang saja tetapi juga masyarakat Kota Palu secara luas.
Jika ada regulasi yang mengatur tentang izin usaha penambangan rakyat dikeluarkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, tentu deposit emas Poboya ini bisa dikelola secara arif. Regulasi itu tentu harus mengatur tentang batasan wilayah penambangan, sistem kelola, pembuangan limbah serta aktivitas recovery pasca tambang secara regular di lokasi tambang dan lokasi tromol. Selain dapat meminimalisir dampak lingkungan, regulasi ini juga dapat menertibkan penambang yang bukan masyarakat lokal serta cukong-cukong yang beroperasi di wilayah ini. Sehingga pengelolaan deposit ini benar-benar dirasakan manfaatnya secara adil bagi masyarakat penambang dan juga bagi masyarakat Kota Palu secara luas melalui kontribusi PAD yang diatur sesuai dengan regulasi tersebut. ***
*Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar