Kamis, 12 Maret 2009

Kawasan HL dan CA Bebas Dari Izin KP dan Perkebunan

Media Alkhairat, Rabu 11 Maret 2009

Kawasan HL dan CA
Bebas Dari Izin KP dan Perkebunan

BUNGKU – Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali, H Ilyas Makka menyatakan, saat ini seluruh kawasan Hutan Lindung (HL) dan Cagar Alam (CA) di wilayah kerjanya telah dikeluarkan dari area Kuasa Pertambangan.
“Hal tersebut dilakukan mengingat tidak adanya kewenangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dalam hal perizinan atau alih fungsi status hutan yang ada di wilayahnya. Semua itu menjadi wewenang pemerintah pusat,” kata Ilyas Makka pekan lalu kepada Media Alkhairat pekan lalu.
Menurut dia, sejak tahun 2008 lalu Pemkab telah mencabut seluruh izin yang masuk dalam kawasan itu khususnya dalam kawasan lindung maupun cagar alam.
Dia mengaku, adanya penilaian sejumlah masyarakat terkait dengan izin pertambangan dan perkebunan, arealnya masuk didalam dua kawasan itu, tidak ada salahnya. Salah satu penyebabnya karena kurangnya koordinasi antara instansi pada masa lalu.
“Seharusnya, prosedur penerbitan Kuasa Pertambangan ataupun perkebunan itu, harus melibatkan beberapa instansi terkait seperti Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Dinas Kehutanan serta Dinas Pertambangan sebagai leading sector terkait. Namun waktu itu semuanya tidak berjalan, sehingga hal itu terjadi,” jelasnya.
Sementara itu, Plt.Sekab Morowali, H. Syahrir Ishak, ditemui terpisah membenarkan keterangan Kepala Dinas Kehutanan tersebur.
“Sudah benar, apa yang dikatakan pak Ilyas itu. Jadi saat ini kawasan hutan lindung maupun hutan Cagar Alam Morowali itu bebas dari segala bentuk izin,” tegasnya.
Dia juga membenarkan soal kurangnya koordinasi antara instansi pada saat proses penerbitan izin tersebut pada masa pemerintahan sebelunya, sehingga banyak izin yang dikeluarkan lokasinya ada yang masuk dalam dua kawasan itu.
“Dulu memang sistem koordinasi kita kurang berjalan, seperi pada penerbitan KP, kan harus ada peta dari Dinas Kehutana Provonsi, sehingga diketahui status kawasan dimaksud. Tapi itu tidak dilakukan sehingga wajar hal itu terjadi,” sebutnya. Namun begitu menurutnya sejak tahun 2008 lalu, Pemkab Morowali, berupaya menyelesaikan persoalan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menunda proses kenaikan status izin KP dan izin Perkebunan yang masuk dalam kawasan.
Hal ini dilakukan sampai perusahaan dimaksud sepakat untuk mengeluarkan kawasan tersebut dari lahan kerjanya. “Jadi bagi perusahaan yang ingin ditingkatkan status izinnya ke Eksploitasi harus keluar dari area hutan lindung atau dari cagar alam itu,” tandasnya.
Sebelumnya, sejumlah kalangan masyarakat Morowali, menialai Pemkab Morowali telah menjual seluruh hutan di kabupaten kaya akan sumber daya alam (SDA) ini kepada para investor, baik dibidang pertambangan umum maupun perkebunan.
Data yang berhasil dihimpun Media Alkhairat, sejak 2004 sampai saat ini, dari sekitar 109 izin Kuasa Pertambangan (KP) serta izin Perkebunan jenis Kelapa Sawit yang berinvesrasi di Morowali, rata-rata lahannya masuk dalam Kawasan Hutan, baik berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), bahkan ada yang masuk kawasan Cagar Alam seperti yang terjadi di Kecamatan Soyo Jaya. (zen)

Minggu, 01 Maret 2009

Walhi: Wajar Morowali Terancam Rawan Pangan

Media Alkhairat, Jum’at 27 Februari 2009
Walhi: Wajar Morowali Terancam Rawan Pangan
PALU – Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah (Walhi Sulteng), menilai masuknya Kabupaten Morowali dalam daftar salah satu daerah di Indonesia sebagai daerah rawan pangan nasional adala hal yang wajar.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng Andika Setiawan dalam siaran persnya yang diterima Media Alkhairat, Kamis (25/2) mengatakan, penilaian itu didasarkan adanya pengurangan lahan produktif pertanian disektor pangan di daerah tersebut, aki bat adanya konsentrasi pengelolaan lahan menjadi areal konsesi tambang dan perkebunan skala besar seperti sawit.
“Secara ekonomi barang dan bahan yang dihasilkan oleh sawit dan tambang tidak memiliki korelasi atas pemenuhan pangan dan upaya peningkatan produksi pangan. Sebab, memiliki nilai fungsi yang sangat berbeda meskipun ada perubahan fungsi dalam proses transaksi penukaran barang, namun melalui tahapan yang panjang,” ungkap Andika.
Menurutnya, ramalan yang digambarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Morowali, terkait belum memadainya ketersediaan pangan, akses terhadap sumber-sumber pangan yang tidak mendukung serta masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bentuk makanan sehat, hanya menyederhanakan persoalan pada satu bidang. Padahal ancaman dari sector tambang dan perkebunan kelapa sawit itu lebih signifikan.
“Jelas, disana ada pengurangan lahan, penyempitan basis produksi serta perubahan pola dan basis produksi,” ujarnya.
Disisi lain kata Andika, ancaman banjir serta bencana alam lainnya yang lahir dari degradasi ekologis merupakan persoalan yang serius dan tidak main-main. Pemanfaatan sumber daya alam oleh berbagai perusahaan tambang dan sawit di Morowali telah menguasai lahan seluas 41.000 Ha. Untuk HGU perkebunan sawit seluas 890.334 Ha, untuk pertambangan sementara ada juga HPH/IUPHHK dan HTI seluas 145.041 Ha. “Hal ini perlu disikapi dalam konteks kebijakan dan diperiksa kembali, karena kami sangat pesimis dan tidak yakin kalau upaya pengembangan pangan di Morowali akan sukses, jika tambang dan sawit menguasai lebih luas, dari jumlah penguasaan keseluruhan masyarakat Kabupaten Morowali,” jelasnya.
Dia menambahkan, masuknya Mororwali dalam daftar rawan pangan nasional adalah bentuk pembelajaran kepada pemerintah daerah yang lain, agar tidak mengeluarkan kebijakan yang dipertimbangkan secara instan, tanpa berpikir dampak jangka panjang dengan menggadaikan lahan produktif masyarakat kepada sawit dan tambang,.
“Secara ekonomipun masyarakat tidak diuntungkan secara signifikan karena terjadi sentralis pasar oleh pemilik modal dan tidak ada pilihan lain yang diberikan kepada mereka. Selain itu tingkat kualitas tanah dan pasokan air bersih juga akan semakin menurun yang berdampak pada degradasi lingkungan yang luar biasa,” terangnya. (rahman)