Rabu, 08 Juni 2011

Suganda Terima Penghargaan Walhi Award 2011

Kamis, 9 Juni 2011
Media Alkhairat
PALU-Suganda (42), warga Jalan Nenas Palu Barat ini nyrais tak percaya kalau ia akan mendapat penghrgaan, lakon hidup mengais sampah plastis dan besi tua yang ia jalani selama 20 tahun terakhir, mendapat apresiasi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng. Rabu (8/6) di restoran kampoeng nelayan, ia menerima penghargaan sebagai orang yang peduli atas lingkungan.
Sepintas penghargaan itu hanya bersifat biasa, namun bagi bpak empat anak ini, sungguh uar biasa. Matanya sedikit bekaca-kaca saat menerima piagam penghargaan dari Willianita Selviana, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng. Ia tak menyangka, kala upaya untuk menyambung hidup anak dan istrinya dengan mengais sampah itu mendapat perhatian orang lain.
Berdasarkan pengakuannya, profesi tersebut terpaksa ia lakukan karena hampir tak ada pilihan alternatif pekerjaan lain yang lebih layak dan menjanjikan.”kalau ada pekerjaan lain tak butuh modal banyak, mungkin saya akan beralih, tapi apa daya, untuk makan sehari saja saya sudah sangat bersyukur,”Katanya.
Beban hidupnya agak sedikit longgar karena bisa mengeyengolahkan anaknya dengan adanya bantuan dana Bantuan Operasi Sekolah (BOS). Dengan bantuan tersebut, si sulung, saat ini telah duduk, masih duduk di bangku kelas 2 SMK 1 Palu. Sementara si bungsu, masih duduk dibangku kelas 3 SD. Selain mendapat bantuan pendidikan bagi anak-anaknya. Sebagai warga negara yang taat administrasi, ia juga mendapat Jamkesmas dan mendapat jatah Raskin setiap kali ada pembagian. Ia sangat bersyukur atas hal itu.
Pria rantau asal sukabumi Jawa barat ini, mengaku tak bisa membayangkan mengumpulkan bekas plastik kemasan air mineral dan besi tua itu nyaris hanya bisa dimakan sehari. Untung saja, pekerjaan istrinya yang membantu keuangan keluarga dengan menjadi buruh cuci bagi warga tetangga berjalan lancer.” Kalau besi tua harganya Rp. 2.500 per kilo. Sedangkan untuk plastic bekas air mineral Rp. 1.500 per kilo,” katanya. Untuk 1 kilo besi tua, tekadang ia harus bejalan seharian mengelilingi penjuru kota palu, menyambangi tempat pembuangan sampah rumah tangga warga.”Kalau lagi rejeki, bisa dapat 3 kilo sehari. Kalau ada kegiatan rame-rame, kita biasa banyak dapat gelas bekas air minum itu dan langsung dijual. Sebab beratnya bisa sampai 5 kilo,’tambahnya.
Setiap pagi layaknya warga lain, ia telah siap mengayu sepeda yang sudah dipasang bak dibagian depan, untuk mengais rejeki menyambung hidup keluarganya. Suganda selalu yakin dan percaya diri bahwa apa yang ia lakukan itu halal dan tidak membebani atau merampas hak orang lain. Ia bangga dengan profesinya dan yakin betul kalau usahanya itu bisa mengantarkan anak-anaknya pada mimpi dan cita-citanya masing-masing kelak.(SAHRIL)

Go Green, Memulihkan atau Menghancurkan ?


*Wilianita Selviana

Hampir semua hal kini di hubung-hubungkan dengan masalah lingkungan. Setiap rencana pembangunan, kini mulai berhati-hati dan mulai bicara peduli terhadap kondisi lingkungan. Anehnya hal ini baru giat-giatnya dilakukan saat kondisi lingkungan makin terpuruk.
Slogan Go Green menjadi pilihan paling mujarab saat ini. Banyak orang kini bicara soal Go Green bukan hanya pecinta lingkungan tapi juga para pengambil kebijakan bahkan tak ketinggalan para perusak lingkunganpun membeo dengan slogan ini.
Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu juga tak mau tinggal diam dengan upaya pemulihan lingkungan. Program Go Green pemerintah daerah ini mulai dicanangkan dengan Palu Green & Clean. Slogan inipun hangat dibicarakan dalam berbagai kesempatan mulai dari tentang penertiban tata ruang, penertiban sampah hingga perlindungan hutan sebagai daerah tangkapan air yang selama ini menjadi sumber kehidupan.
Fakta ternyata tak seindah slogannya, akibat pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu selama ini warga Kota Palu kini terancam. Lebih dari 300.000 orang yang tinggal di kota Palu terancam akibat dari meningkatnya kadar merkuri di atmosfir, kontaminasi ke dalam rantai makanan, dan meningkatnya kadar merkuri di dalam air minum. Menurut hasil penelitian yang tidak dipublikasikan oleh Pemkot sendiri, sekitar 18 ton merkuri per tahun jumlah ini menguap terlepas ke atmosfir melalui pembakaran amalgam. Ditambah lagi 102 ton Hg per tahun yang terbawa limbah dan terangkut ke dalam tong-tong sianida di mana materi tercampur dengan bahan kimia kemudian dibuang ke saluran air sebagai senyawa merkuri-sianida yang sangat mudah larut dalam air dan menyebar ke ekosistem.
Hal ini rupanya tak menjadi masalah yang meresahkan bagi Pemkot, karena sepertinya ‘pembiaran’ ini adalah bagian dari skenario untuk memuluskan industri tambang yang sejak sepuluh tahun belakangan terpaksa harus menahan diri untuk mengeruk emas Poboya karena penolakan masyarakat. Kini tak ada lagi yang menjadi penghalang, rencana eksplorasi dan eksploitasi PT. Citra Palu Mineral (Bumi Resources, Tbk) sudah mendapatkan lampu hijau dengan ‘pembiaran’ yang dilakukan oleh Pemkot Palu selama ini atas Poboya.
Memang ironi, ditengah upaya mewujudkan Go Green yang didengung-dengungkan selama ini untuk pemulihan lingkungan ternyata dibaliknya tersembunyi sebuah rencana besar yang akan menghancurkan lingkungan. Entah ada yang terusik atau tidak dengan tulisan ini, hanya saja saya terusik dengan sebuah Baliho besar yang Bertuliskan “Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2011, Hutan Penyangga Kehidupan, Save Green and Clean, Stop! Pemanasan Global (Pemerintah Kota Palu, Badan Lingkungan Hidup & PT. Citra Palu Minerals)”. ***
*Direktur Walhi Sulteng
**Tulisan ini untuk mengingatkan banyak orang yang sedang menikmati Long Weekend bahwa tgl. 5 Juni 2011 adalah Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Jumat, 03 Juni 2011

Lokasi Tower SUTET Tergenang Air


Peura-Poso, Sudah dua minggu lebih tidak tampak aktifitas perusahaan pada lokasi tapak tower 51 menurut Ibu Beti warga Desa Peura. Hal ini diduga Karena kondisi lokasi yang sudah digali untuk pemancangan konstruksi tower SUTET 275Kv Poso II-Palopo Pomala’a ini tergenang air hingga ¾ lubang. Lanjut Ibu Beti menjelaskan.

Sejak awal memang lokasi tapak tower 51 dan 52 ditolak karena warga tidak setuju jika tower SUTET melintasi pemukiman warga Peura. Penolakan ini tidak diindahkan sama sekali bahkan aktivitas perusahaan terus berlangsung hingga kondisi dua lubang pada tapak tower 51 dan 52 penuh air. Meskipun sudah menggunakan mesin alcon untuk menyedot air tersebut tetapi kondisinya sama saja, air tidak berkurang sama sekali.

Lokasi tapak tower ini memang sangat kontroversi karena sudah empat kali dipindahkan tanpa uji kelayakan yang pasti dan tanpa sosialisasi yang baik kepada warga Peura. Namun aktivitas perusahaan terus berlangsung dan terkesan memang dipaksakan karena kurang lebih enam tahun lamanya PLTA Poso masih belum juga beroperasi dan menyuplai energy listrik yang dihasilkannya kepada para pembeli yang sudah melakukan kesepakatan sejak awal dengan Pihak Pengembang proyek dalam hal ini PT.Poso Energy yang tak lain adalah bagian dari Bukaka Group milik Keluarga Kalla.

Sementara warga Peura yang memang menolak pembangunan tower 51 dan 52 di desa Peura sedikit berlega hati karena penolakan mereka selama ini memberikan bukti bahwa memang lokasi yang dipaksakan saat ini memang tidak layak untuk dibangun tower SUTET. Meskipun proses hokum yang mereka harus jalani akibat penolakan mereka yang berujung pada kriminalisasi oleh pihak perusahaan melalui aparat kepolisian setempat tetap berjalan hingga saat ini.