Kamis, 30 Juli 2009

Jika Emas Poboya Dikelola Secara Arif



Radar Sulteng
Sabtu, 25 Juli 2009
Jika Emas Poboya Dikelola Secara Arif
Wilianita Selviana *)

AKHIRNYA menelan korban jiwa, meski baru dugaan sementara karena kekurangan oksigen seorang penambang emas Poboya meninggal dunia Senin, 20 Juli 2009 yang lalu. Seperti halnya dengan kejadian di Desa Lobu, Parigi Moutong beberapa pekan lalu yang menelan 3 orang korban jiwa tetap tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus menambang. Begitu pula dengan masyarakat Poboya. Bukan hanya deposit emas Poboya yang terancam tetapi keselamatan para penambang juga terancam jika model kelola tambang emas Poboya masih seperti yang berlangsung saat ini. Persyaratan savety prosedur di lubang penambangan yang pernah disarankan oleh petugas dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Propinsi Sulawesi Tengah sepertinya masih kurang diindahkan. Begitu pula dengan pembatasan penggunaan unit tromol (amalgamisator) yang secara otomatis akan mengurangi penggunaan mercury (Hg) juga diabaikan. Justru jumlah unit tromol tersebut semakin bertambah banyak dari waktu ke waktu dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pengolahan material yang terus ditambang yang secara langsung memaksimalkan kapasitas produksi emas.

Motivasi ekonomi dengan peningkatan pendapatan secara signifikan yang dirasakan masyarakat penambang terus memacu aktivitas penambangan mereka dari hari ke hari. Hal ini dibuktikan melalui hitung-hitungan yang dilakukan oleh Lurah Poboya Aris, SE., bahwa dalam sehari kurang lebih 1.000 karung material batu yang mengandung emas diambil dari Poboya. Bila diasumsikan satu karung material menghasilkan 5 gram, maka dalam satu hari produksi emas Poboya dari hasil penambangan yang dilakukan masyarakat sebanyak 5 kg. Dan bila dirupiahkan, dengan asumsi 1 gram emas harganya Rp130 ribu atau Rp130 juta per kilogram, maka dalam sehari rata-rata penjualan emas di Kelurahan Poboya mencapai Rp650 juta (Radar Sulteng, Selasa 21/7/2009).

Sangat menggiurkan memang, hingga masyarakat Poboya rela beralih mata pencarian dari petani bawang dan jagung menjadi penambang emas. Padahal beberapa tahun sebelumya, menambang emas hanya menjadi pekerjaan sampingan atau menjadi alternatif ketika hasil panen kurang menghasilkan namun saat ini sudah menjadi sumber pencaharian utama bagi mereka. Bumi Resources (BUMI) pun demikian, melalui anak perusahaanya PT. Citra Palu Mineral (CPM) juga tidak henti-henti berupaya agar dapat melakukan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi emas di wilayah Poboya ini yang memang merupakan areal konsesinya. Coba bayangkan sejenak jika deposit emas Poboya tersebut dikelola oleh perusahaan besar berupa Trans National Corporation(TNC) seperti BUMI.

Pasti risiko lingkungan yang jauh lebih besar akan dihadapi di kemudian hari. Juga dapat dipastikan kontribusi yang minim bagi daerah dan masyarakat penambang. Selain itu juga, masyarakat penambang akan semakin sulit berebut wilayah kelolanya di dalam wilayah konsesi yang dieksploitasi perusahaan. Karena itu, penting bagi masyarakat Poboya menentukan kedaulatan atas pengelolaan sumber daya alamnya. Apakah akan menjadi bagian kecil dari satu industri pertambangan skala besar atau menjadi bagian yang besar dari satu aktivitas pertambangan skala kecil yang dikelola secara bersama-sama dan berkeadilan. Pilihan kedua itu akan sangat menarik untuk dipilih dengan memastikan bahwa aktivitas penambangan yang saat ini berlangsung di Poboya tidak dibiarkan begitu saja mengingat kerentanan kondisi ekologis wilayah Poboya dan sekitarnya. Poboya merupakan satu-satunya water catchments area yang paling besar di kota Palu, sehingga jika keseimbangan ekologinya terganggu maka dampak yang timbul akan sangat dirasakan tidak hanya oleh masyarakat penambang saja tetapi juga masyarakat Kota Palu secara luas.

Jika ada regulasi yang mengatur tentang izin usaha penambangan rakyat dikeluarkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, tentu deposit emas Poboya ini bisa dikelola secara arif. Regulasi itu tentu harus mengatur tentang batasan wilayah penambangan, sistem kelola, pembuangan limbah serta aktivitas recovery pasca tambang secara regular di lokasi tambang dan lokasi tromol. Selain dapat meminimalisir dampak lingkungan, regulasi ini juga dapat menertibkan penambang yang bukan masyarakat lokal serta cukong-cukong yang beroperasi di wilayah ini. Sehingga pengelolaan deposit ini benar-benar dirasakan manfaatnya secara adil bagi masyarakat penambang dan juga bagi masyarakat Kota Palu secara luas melalui kontribusi PAD yang diatur sesuai dengan regulasi tersebut. ***

*Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah

Walhi: Emas Poboya Harus Dikelola Rakyat

Walhi: Emas Poboya Harus Dikelola Rakyat

Radar Sulteng
Selasa, 28 Juli 2009
PALU – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng mendorong agar potensi emas di Poboya dikelola oleh rakyat, dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan. Untuk mengelola potensi ini masyarakat Poboya penting memiliki satu wadah. Kemarin (27/7), hal ini dibicarakan dalam diskusi para aktivis non government organization (NGO). Diskusi ini dilaksanakan di kantor Solidaritas Perempuan Palu.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Walhi Sulteng, Wilianita Selviana mengemukakan, penting bagi masyarakat Poboya untuk menentukan kedaulatan atas pengelolaan sumber daya alamnya. Apakah akan menjadi bagian kecil dari satu industri pertambangan skala besar atau menjadi bagian yang besar dari satu aktivitas pertambangan skala kecil yang dikelola secara bersama-sama dan berkeadilan. Potensi emas Poboya ini kata Lita-demikian dia akrab disapa, harus dikelola oleh rakyat Poboya.

Seiring dengan itu, sejumlah NGO di Sulteng, juga mendorong Pemerintah Kota Palu agar menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Izin ini akan melegalkan masyarakat Poboya untuk menambang emas di daerah itu. Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Isman dalam kesempatan tersebut menegaskan, pemberian IPR telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Karena itu, dia mendesak pemkot untuk segera mengimplementasikan regulasi tersebut. Alangkah arifnya kata Isman, bila sumber daya alam (SDA) itu dikelola oleh rakyat langsung, dan difasilitasi oleh perusahaan daerah. Selain itu, perusahaan daerah juga yang membuka jalur pemasaran emas-emas yang telah dikelola rakyat. “Sudah saatnya rakyat bersama negara bersatu untuk ‘mengusir’ para pemodal asing dan nasional yang juga kaki tangan pengusaha asing,” ungkap Isman.(bil)

Rabu, 29 Juli 2009

Dishut Kampanyekan Indonesia Menanam *Tanam 100 Bibit Pohon di Walangguni

Radar Sulteng Rabu, 29 Juli 2009
Dishut Kampanyekan Indonesia Menanam
*Tanam 100 Bibit Pohon di Walangguni

PALU- Kampanye Indonesia Menanam (KIM) Tahun 2009 mulai digalakkan. Kemarin (28/7) Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Sulteng menggelar seremoni penananam 100 bibit pohon di wilayah Walangguni, Kelurahan Talise, Palu Timur.

Seremoni Kampenye Indonesia Menanam Tahun 2009 ditandai dengan penanam pohon secara simbolis oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng Ir Nahardi MM. Kemudian diikuti oleh Sekretaris Dewan Kota Palu Drs Hidayat Lamakarate, Lurah Talise M Habil Akbar serta anggota Kelompok Tani Nompe Singgani. Menurut ketua panitia KIM 2009 Dios S.Hut, 100 bibit pohon terdiri dari bibit ebony, jati, nangka, dan kemiri.

Kadishut Sulteng Nahardi mengatakan, Kampanye Indonesia Menanam bisa diartikan sebagai kampanye Talise Menanam atau kampanye Palu menanam. Ini dimaksudkan agar KIM 2009 dapat digelorakan kepada masyarakat Talise khususnya dan masyarakat kota Palu umumnya sehingga timbul semangat untuk menanam poohon.

‘’Kampanye ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran dan timbul semangat atau gairah di masyarakat untuk menanam pohon apa saja yang bisa bermanfaat bagi bumi. Minimal satu orang satu pohon,’’ kata Nahardi yang dihubungi kepada koran ini usai pencanangan KIM 2009.

Dia menambahkan, dengan semangat menanam yang tumbuh di hati seluruh masyarakat untuk menanam pohon diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan. Menurutnyam kualitas lingkungan maupun sumber daya alam mengalami penurunan sehingga berdampak buruk terhadap masyarakat.

Karena itu pemerintah sejak tahun lalu mencanangkan Kampanye Indonesia Menanam, minimal satu orang satu pohon. Memang, katanya, manfaatnya tidak akan langsung terasa. Karena itu diperlukan pihak-pihak yang peduli untuk melakukan pengawasan, pemerliharaan terhadap pohon-pohon yang ditanam.

Dia mengatakan pihak Dishut Provinsi Sulteng telah menyampaikan KIM 2009 di daerah-daerah dan diharapkan dilakukan gerakan penanaman bibit pohon seperti yang dilakukan di Walangguni. Dia mengharapkan seremoni penanaman bibit pohon dapat terus berlanjut dengan tindakan pemeliharaan dan pengawasan. ‘’Jangan hanya menanam saja. Harus ada tindak lanjutnya berupa pengawasan dan pemeliharaan,’’ ujarnya.

Nahardi menilai, dipilihnya Walangguni sebagai lokasi penanaman 100 bibit pohon dalam rangka KIM 2009, merupakan langkah yang tepat. Dia menilai tanah di daerah itu tidak kritis, melainkan krisis air.

Lurah Talise M Habil Akbar mengakui ketersediaan air menjadi masalah di Walangguni. Namun belakangan ini masalah itu mulai dapat diatasi oleh petani sendiri. Kata dia, petani secara swadaya mengadakan pengairan dari sumber air Poboya dan patungan menyewa penampung. ‘’Dengan cara itu masalah ketersediaan air sedikit sudah bisa diatasi,’’ katanya.(sya/adv)

Warga Bualemo Tolak Perkebunan Sawit *Bupati Banggai Didesak Cabut Izin Lokasi Perkebunan Wira Mas Permai




Radar Sulteng Selasa, 28 Juli 2009
Warga Bualemo Tolak Perkebunan Sawit
*Bupati Banggai Didesak Cabut Izin Lokasi Perkebunan Wira Mas Permai

PALU – Keinginan PT Wira Mas Permai untuk membuka perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai menyulut resistensi warga. Resistensi ini diikuti dengan serangkaian aksi massa yang menolak perkebunan sawit di daerah itu. Aksi massa yang dilakukan, Kamis (23/7) dan Sabtu (25/7) ini dipusatkan di Desa Longkoga Barat.

Aksi massa yang menolak perkebunan sawit ini mendapat atensi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng. Melalui siaran pers yang disampaikan kepada Radar Sulteng kemarin sore (27/7) Deputi Direktur ED Walhi Sulteng, Ahmad Pelor menegaskan, aksi massa yang dilakukan masyarakat Bualemo merupakan bentuk nyata penolakan mereka terhadap perkebunan sawit. Masyarakat tidak menginginkan wilayahnya menjadi areal perkebunan sawit.

Menurut Ahmad, pada prinsipnya penolakan masyarakat Bualemo didasarkan berbagai pengalaman selama ini, dimana masuknya perusahaan akan merusak hutan di sekitar wilayah kelola masyarakat yang secara langsung berdampak pada menurunnya debit air. Dan hal ini mengancam persawahan dan perkebunan masyarakat yang ada. Selain itu, perkebunan sawit juga berpotensi menyebabkan bencana banjir karena adanya alih fungsi lahan hutan. Ini belum termasuk persoalan pola inti-plasma yang dikembangkan dalam perkebunan skala besar yang selalu menempatkan petani sebagai pihak yang dirugikan. Sebab, pola bagi hasil yang diterapkan hanya memberikan porsi 20 persen bagi petani plasma, sementara perusahaan justru mendapatkan 80 persen.

Lebih lanjut Ahmad menjelaskan, pola inti–plasma ini jelas merugikan masyarakat. Pasalnya, masyarakat diminta menyerahkan lahannya ke perusahaan. Oleh perusahaan, lahan ini dijadikan jaminan pinjaman di bank. Dana pinjaman bank kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan kebun sawit, seperti penyiapan lahan (land clearing), pengadaan bibit, pupuk dan biaya pemeliharaan. Nantinya, biaya yang diperuntukkan bagi petani plasma itu akan dihitung sebagai utang petani kepada perusahaan. Utang ini akan dibayar secara kredit saat sawit telah menghasilkan. Setelah utang lunas, barulah lahan bisa dikembalikan ke petani plasma. Tapi, ketika lahan dikembalikan, petani hanya akan menerima 20 persen dari luas lahannya, sedangkan 80 persen lahan menjadi milik perusahaan. “perkebunan sawit skala besar tidak akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat atau petani plasma. Pola inti–plasma yang dikembangkan justru akan semakin memiskinkan masyarakat di Bualemo” tegas Ahmad.

Terkait dengan sikap penolakan masyarakat tersebut, Ahmad mendesak Bupati Banggai untuk merespons aksi masyarakat dengan segera mencabut izin lokasi perkebunan sawit yang telah dikeluarkan. “Kami mendesak bupati untuk segera mencabut izin lokasi yang telah dikeluarkan, karena jelas masyarakat tidak menginginkan perkebunan sawit,” ungkapnya.(bil)

Rabu, 22 Juli 2009

Warga Poboya Diminta Tak Mudah Percaya Soal Rencana PT CPM Mengekplorasi Tambang Emas

Radar Sulteng
Rabu, 22 Juli 2009
Warga Poboya Diminta Tak Mudah Percaya
Soal Rencana PT CPM Mengekplorasi Tambang Emas

PALU - Rencana ekplorasi tambang emas berskala besar di Poboya yang akan dilakukan PT Citra Palu Mineral (CPM), harus disikapi dengan hati-hati. Masyarakat di sekitar lingkar tambang Poboya, agar tidak mudah percaya begitu saja terhadap penjelasan PT CPM. Masyarakat harus aktif meminta penjelasan, termasuk soal informasi dampak yang diakibatkan dari aktivitas pertambangan berskala besar di tempat tersebut, sebelum semua telah terintegrasi dalam justifikasi analisa dampak lingkungan (Amdal).

Kepada Radar Sulteng, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tengah (WALHI Sulteng), Andika Setiawan, mengimbau kepada masyarakat Poboya untuk tidak begitu saja memercayai penjelasan PT CPM. Sebagai warga yang paling mendapatkan dampaknya atas aktivitas ekprorasi tambang emas secara besar-besaran tersebut, harus terus menerus aktif meminta penjelasan, termasuk mengenai informasi dampak yang diakibatkan dari aktivitas pertambangan tersebut.

“Masyarakat lingkar tambang Poboya berhak mendapatkan informasi yang benar mengenai dampak yang diakibatkan dari proses pertambangan. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan yang ingin beroperasi selalu melakukan pendekatan manis terhadap masyarakat dan sebisa mungkin memberikan penjelasan yang sangat positif,” katanya.

Andika mengungkapkan, PT CPM yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh PT Bumi Resources (BUMI), sampai saat ini selalu berdalih bahwa belum saatnya membicarakan mengenai dampak dalam setiap sosialisasinya. Bahkan katanya, hampir tidak pernah dijelaskan soal maksud dan tujuan secara mendetail persoalan dampak yang diakibatkan dari proses ekplorasi tersebut. Selama ini, mereka hanya menjanjikan soal masa depan masyarakat lingkar tambang Poboya dari sisi eknomi sebagai dalih untuk memudahkan proses pengeboran yang akan dilakukan.

Lebih dari itu lanjut Andika, informasi lain yang juga sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat Poboya, bahwa PT BUMI juga memiliki Kontrak Karya pada konsesi pertambangan seluas 38.889 hektar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Konsesi tersebut katanya, terdiri dari enam blok terpisah, dimana prospek Poboya memilliki potensi terbesar dan bernilai ekonomis cukup tinggi terhadap laba perusahaan.

“Perhitungan awal sumber daya geologi, menunjukkan bahwa potensi kandungan emas sebanyak dua juta ons emas. Pada tahun 2008 kemarin, PT CPM telah melakukan studi ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan untuk mempersiapkan program pengeboran yang mendetail,” terang Andika.

Oleh karena itulah, kata dia, yang harus dilakukan saat ini diperlukan adanya peran serta pemerintah untuk memonitoring rangkaian aktivitas PT CPM secara obyektif dan tegas. Sehingga keadilan informasi yang diperoleh masyarakat lingkar tambang poboya, khususnya masyarakat Kota Palu secara keseluruhan, karena ini berkaitan dengan masa depan Kota Palu yang hanya berjarak sekitar kurang lebih 7 kilometer dari blok 1 konsesi tambang emas poboya tersebut.

“Apalagi Konsesi PT CPM belum masuk dalam dokumen Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), harusnya PT CPM belum boleh beraktivitas sama sekali termasuk eksplorasi lanjutan karena RTRWP masih dalam pembahasan,” demikian tegas Andika. (yon)

Selasa, 21 Juli 2009

Kebijakan Sawit Ancam Kultur Pangan Parigi Moutong

WALHI
Kebijakan Sawit Ancam Kultur Pangan Parigi Moutong
Palu- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah menilai usaha pemerintah memasukan perkebunan kelapa sawit di daerah Kabupaten Parigi Moutong akan mengancam budaya pangan daerah tersebut.

Kepala Divisi Advokasi & kampanye Walhi Sulteng Andika Setiawan kepada media ini, kamis kemarin, mengatakan selama ini Kabupaten Parigi Moutong merupakan daerah penghasil beras sekaligus menjadikan daerah tersebut salah satu lumbung pangan Sulteng.

Hal itu dibuktikan melalui data BPS bahawa luas panen sawah di Kabupaten Parigi Moutong setiap tahunnya 44.798 Ha pada tahun 2005 naik menjadi 46.204 Ha pada tahun 2006. tetapi untuk tahun 2004-2006 tidak ada lagi petani yang menanam padi di lading.
“Hal ini disebabkan beralihnya fungsi lahan padi ladang menjadi lahan tanamn perkebunan. Secara umum selama kurun waktu lima tahun terakhir, luas panen padi di Kabupaten Parigi Moutong cenderung nai’jelas Andika. Sebanding dengan luas panen padi Kabupaten Parigi Moutong dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2003 mengalami peningkatan yaitu dari 208.133 ton menjadi 224.105 ton, kemudian menurun pada tahun 2004 dan terus mengalami kenaikan hingga tahun 2007, yaitu total keseluruhan 786.340 ton.
Menurutnya, produksi tidak akan bertahan jika perkebunan sawit mulai merambah daerah Kabupaten Parigi Mautong sebab lebih mendorong absennya petani dalam beberapa proses produksi, diantaranya keinginan mengembangkan tanaman pertanian alternative di areal perkebunan sawit.
“Hal tersebut tak bisa diwujudkan karena sifat dominant yang dimiliki tanaman sawit. Hal lain konversi lahan tidak menutup kemungkinan dilakukan melalui ekspansi perkebunan itu sendiri,” urai Andika.
Ia menambahkan, daya resapan air yang dimiliki oleh perkebunan kelapa sawit sangat luar biasa. Belum lagi banyaknya limbah yang dihasilkan, hal ini akan mempercepat proses perubahan kondisi permukaan tanah dan secara otomatis akan sangat berpengaruh terhadap kualitas tanaman pertanian yang berada di sekitarnya.
“Dan jika maka itu terjadi akan berdampak langsung pada tingkat produksi pertanian.” Terangnya.
Perusahaan rencananya akan masuk diwilayah Parigi Moutong adalah PT Agung Lesatri Kebun yang saat ini masih dalam tahap pengurusan izin dan menunggu keputusan Bupati.
Selama ini, kata dia, syarat pembangunan Industri Kelapa sawit itu memiliki luas perkebunan minimal 2.000 Ha, itu sudah termasuk inti dan kebun-kebun sawit milik petani (Plasma).
“Dipastikan jika perkebunan sawit masuk maka luasannya bisa melebihi dari itu sebab masih tahap awal. Sementara skema nasional 2 juta Ha peruntukan lahan perkebunan sawit untuk wilayah Sulawesi Tengah,” demikian Andika.

Rabu, 15 Juli 2009

Warga Bolehkan PT CPM Eksplorasi di Poboya

Berita Palu
Rabu, 15 Juli 2009

Warga Bolehkan PT CPM Eksplorasi di Poboya

PALU - Keinginan PT Citra Palu Minerals (CPM), anak perusahaan Bumi Resources untuk melanjutkan tahapan eksplorasi kandungan emas di Kelurahan Poboya dan sekitarnya, tidak pernah surut. Setelah sosialisasi di kantor Gubernur beberapa waktu lalu, kemarin (14/7) pihak perusahaan kembali melakukan sosilisasi bertempat di balai pertemuan Kelurahan Poboya, Palu Timur. Hadir dalam pertemuan tersebut ratusan warga dari beberapa kelurahan di Palu. Di antaranya Kelurahan Kawatuna, Lasoani, Poboya, Kelurahan Tanamodindi, serta warga pendatang dari luar daerah yang selama ini melakukan aktivitas penambangan secara manual di areal tambang emas Poboya.

Walau pada akhirnya diputuskan pihak PT CPM dibolehkan melanjutkan tahapan eksplorasi, pada pertemuan yang berlangsung sekitar 2 jam tersebut, sempat terdengar suara penolakan dari sejumlah warga atas keinginan perusahaan untuk melanjutkan tahapan eksplorasi.

Eso, salah satu warga Poboya dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya bila PT CPM melanjutkan tahapan eksplorasi di Kelurahan Poboya. Ia khawatir, tahapan eksplorasi akan berlanjut ke tahapan berikutnya, eksploitasi. Bila tahapan eksploitasi dilakukan, kata dia, dampaknya pasti akan dirasakan masyarakat.

“Saya sudah pernah lihat langsung di Kalimantan, bagaimana dampak dari pertambangan besar. Jadi saya tidak setuju kalau CPM mau beroperasi lagi di Poboya,” ujar Eso lantang dalam pertemuan itu. Ia juga mempertanyakan soal izin kontrak karya. Menurutnya, ketika kontrak karya ditandatangani masyarakat tidak pernah tahu, apalagi ditanya setuju atau tidak.

Hal senada diungkapkan Sida, warga Poboya lain. Menurut Ibu rumah tangga ini, pihaknya tidak pernah tahu kapan kontrak karya itu disosialisasikan.

“Untuk itu, saya tidak suka lagi yang namanya CPM masuk di Poboya,” tegas Sida dalam pertemuan. Sophian, perwakilan dari Kelurahan Lasoani secara tegas juga menolak rencana perusahaan untuk melanjutkan tahapan eksplorasi. Menurut Caleg terpilih dari PDIP Dapil Palu Timur/Utara ini, dampak yang ditimbulkan bila nantinya perusahaan tambang beroperasi bukan hanya warga Poboya, tapi juga warga Lasoani dan warga Kota Palu secara keseluruhan.

“Kita harus pegang prinsip, sedia payung sebelum hujan. Lebih baik tolak memang dari sekarang daripada nanti kita yang kena getahnya,” tegas Sophian.

Syahrial Suandi, Goverment Relation Superintendent Bumi Resources mengatakan, yang akan dilakukan PT CPM saat ini baru tahapan eksplorasi atau penyelidikan, untuk mengetahui kandungan emas di Poboya. Tahapan eksplorasi ini berlangsung sampai dengan tahun 2013. Setelah itu baru dilakukan studi Amdal.

“Bila hasil study Amdal menyatakan bahwa kandungan emas di Poboya layak untuk diolah, baru dilakukan eksploitasi. Jadi, kalau berbicara dampak masih sangat jauh,” ujar Syahrial dalam pertemuan.

Ia mengungkapkan, beberapa waktu lalu pihaknya meminta peneliti dari Untad untuk melakukan penelitian rona awal di Poboya. Hasilnya kata dia, masyarakat Poboya menginginkan agar perusahaan pengolah itu bukan perusahaan asing.

“Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Yang pasti hasil penelitian Untad seperti itu. Dan CPM yang sekarang bukan CPM yang dulu lagi. CPM sekarang sudah jadi anak perusahaan Bumi Resources, perusahaan swasta nasional,” ungkapnya.

Dalam melakukan tahapan eksplorasi nantinya, pihaknya berkomitmen untuk tetap memperhatikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.

Setelah melalui diskusi panjang, sebelum ditutup ketua adat Kelurahan Poboya, Ali Djaludin menyatakan, bahwa perusahaan boleh untuk melanjutkan tahapan eksplorasi, namun dengan catatan, masyarakat juga tetap menambang seperti biasa. Tampak hadir dalam pertemuan tersebut lurah Poboya Aris SE, unsur lembaga adat Poboya serta LPM Kelurahan Poboya. (ars)

Jumat, 10 Juli 2009

Lelang blok migas Tomini untuk asing'


10 Juli 2009
'Lelang blok migas Tomini untuk asing'

PALU: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah menilai ­ pemerintah melelang Wilayah Kerja (WK) Blok Migas Tomini, karena desakan sejumlah­ negara maju seperti­ termuat dalam perjanjian­ ekonomi.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Andika Setiawan, mengatakan keputusan pemerintah tersebut tidak populis, karena melelang kekayaan rakyat terburu-buru dan terkesan dipaksakan. “Seharusnya pemerintah mengkaji ulang beberapa catatan penge­lolaan blok migas, karena di beberapa wilayah pengelolaan migas cenderung memposisikan negara sebagai penjual bahan mentah, dan keuntungannya hanya dirasakan para pengusaha asing,” ujar Andika di Palu, kemarin.

Menurutnya, rencana pemerintah yang akan melelang 7 blok migas di Tomini hanya memberikan kesempatan luas bagi perusahaan asing mendominasi penawaran wilayah kerja migas periode I 2009.Andika menguraikan, secara ekonomi politik pengelolaan migas di tanah air lebih banyak memenuhi perjanjian ekonomi seperti EPA (Economic Partnership Agreement­), antara Pemerintah Jepang dengan Indonesia, yang salah satu isinya adalah untuk memenuhi pasokan migas Jepang sebesar 30% dari total hasil migas Indonesia.

Contoh kongkrit adalah pengelolaan migas hulu-hilir Donggi Senoro, di Kabupaten Banggai, Sulteng, di mana perusahaan Mitsubishi Jepang mendominasi kepemilikan saham sektor hilir sebesar 57%. Menurut Andika, ketika masya­rakat menginginkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan nasional, justru pemerintah melakukan pelelangan terhadap sumber-sumber itu. Dan lelang yang dilakukan secara terbuka umumnya dimenangkan pihak asing.

Dikelola pusat
Sementara dalam kesempatan terpisah pengelolaan tambang emas di Bombana, Sulawesi Tenggara dalam waktu dekat dikelola pemerintah pusat. Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam meminta pemerintah pusat turun tangan mengelola tambang emas di Kabupaten Bombana, karena ada indikasi pemerin­tah kabupaten memberikan hak pengelolaan hanya kepada sekelompok orang, dan mengabaikan kepentingan masyarakat setempat.

Menurut gubernur, sejak ditemukan tambang emas di Bombana, pendapatan asli daerah (PAD) dari penerimaan bukan pajak saja diperkirakan­ mencapai Rp70 miliar. “Namun, sampai saat ini kita tidak tahu ke mana uang itu," katanya. Dia menilai, pemerintah kabupa­ten melakukan kegiatan-kegiatan melanggar ketentuan dengan haya mengakomodasi sekelompok orang mengeksploitasi sumber daya alam di sana,” katanya, kemarin. Terkait hal itu, lanjut dia, peme­rintah provinsi telah menurunkan tim untuk melakukan investigasi.

Selain dari penerimaan bukan pajak yang nihil, hasil eksploitasi tambang itu diperkirakan telah mencapai Rp2 triliun. “Namun, sangat jelas terlihat hasilnya tidak dinikmati oleh orang di sana. Mereka hanya menjadi penonton,” tambah Nur Alam. Karena itu menurut gubernur, dari pada dikelola oleh pengusaha tertentu yang tidak memberikan kontribusi terhadap daerah, sebaiknya pemerintah pusat turun tangan untuk mengelola tambang emas di daerah itu.

Gubernur menegaskan, kiranya masyarakat tidak salah tangkap dengan maksud dia menyerahkan pengelolaan tambang emas di Bombana ke pemerintah pusat. “Jika itu dikelola oleh pemerintah pusat, akan lebih terkoordinasi dan pendapatan negara bisa lebih dioptimalkan,” tegasnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap kawasan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara (Konut). Gubernur mengakui telah memerintahkan agar perusahaan-perusahaan pemilik kuasa pertambangan (KP) yang bermasalah di daerah itu segera “diputihkan.”

“Maksudnya, perusahaan pemilik KP yang bermasalah, dicabut kembali izin dan kemudian dikaji pelanggaran-pelanggarannya. Karena dari laporan yang masuk, lokasi izin KP sudah lebih luas ketimbang lahan tambang yang ada di sana,” kata gubernur.
Label: dan Kontributor Palu, Laporan Sulfaedar Pay Diposkan oleh Regional_Timur