Jumat, 28 Agustus 2009

Petani Di Sigi Merugi Rp29,4 Miliar

Mercusuar, Sabtu, 29 Agustus 2009

Petani Di Sigi Merugi Rp29,4 Miliar

PETANI sedang mencabut bibit padi. Akibat pola bertani yang kurang baik, diperkirakan tiap tahunnya petani di sigi mengalami kerugian sekira Rp29,4 miliar. FOTO: OETAR/MS


SIGI, MERCUSUAR- Akibat pola bertani yang masih tergolong buruk, dalam setahun atau dua musim tanam padi, petani di Kabupaten Sigi diperkirakan merugi hingga Rp29,4 miliar.

Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sigi, Ir, Gagarin MSi mengatakan, pola bertani yang masih tergolong buruk itu telah dilakukan para petani di Kabupaten Sigi selama bertahun-tahun. Dalam proses penggunaan dan pemanfaatan benih padi hingga proses pasca panen, para petani di wilayah ini sering melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang tanpa mereka sadari justru membawa kerugian ekonomi dalam jumlah sangat besar.

Lebih lanjut Gagarin menjelaskan, saat akan memulai musim tanam, para petani menggunakan benih padi jumlahnya berlebihan. Ia menyontohkan, untuk satu hektar sawah rata-rata menggunakan benih sebanyak 40 hingga 50 kilogram. Padahal dengan merubah pola tanam menggunakan cara jarak tanam direnggangkan dan pengurangan jumlah batang bibit saat ditanam, petani bisa menghemat gabah untuk benih hingga 20 kilogram.

“Cara tanam bibit seperti ini sudah kami uji coba pada belasan hektar sawah yang menjadi demplot. Hasilnya sangat memuaskan, persentase tumbuhnya bibit yang ditanam pun tidak berubah, tetap seratus persen,” ujarnya.

Kalau para petani tetap mempertahankan cara penggunaan benih seperti biasanya, maka untuk setiap hektar sawah akan mubazir benih hingga 20 atau 30 kilogram. Dengan luas lahan sawah di Kabupaten Sigi yang menacapai 20 ribu hektar, berarti untuk sekali musim tanam terjadi pemborosan benih sebanyak 600 ribu kilogram gabah. Jika dikalkulasikan harga jual gabah benih sekira Rp3.000 per kilogram, maka kerugian dalam satu musim tanam bisa mencapai Rp1,8 miliar.

“Dalam setahun dua kali musim tanam, berarti kerugian dari cara penggunaan benih yang boros dalam setahun mencapai 3,6 miliar rupiah. Bayangkan saja besaran rupiah yang bisa dihemat dari merubah cara tanam bibit,” kata Gargarin.
Kerugian lainnya bisa terjadi pada proses pasca panen. Menurut Gagarin, perilaku petani selama ini yang masih tergolong buruk pada proses ini, bisa mengakibat kerugian sebesar 23 persen dari total hasil panen padi. Kerugian ini ditaksir karena banyak bulir padi yang terhambur sia-sia mulai saat padi disabit, ditumpuk di petak sawah, pada proses pemisahan bulir dengan batang padi, hingga pada proses penjemuran dan penggilingan.
Menurut Gagarin, jika dalam satu hektar panen padi rata-rata terendah hanya dua ton, maka kerugian petani pada proses pasca panen bisa mencapai 460 kilogram gabah kering panen. Berarti untuk lahan sawah di Sigi 20 ribu hektar, kerugian bisa mencapai 92 ton gabah kering panen. “Dengan harga jual gabah sebesar Rp3.000 per kilogram, maka kerugian bisa mencapai 27,6 miliar rupiah. Jika ditotal seluruh kerugian akibat pola bertani yang masih tergolong buruk ini bisa mencapai 29,4 miliar per tahun. Harusnya ini bisa dicegah dengan memperbaiki perilaku dan pola bertani masyarakat di Sigi,” katanya.
Sementara itu, sejumlah petani di Sigi yang ditemui media ini pekan lalu, mengaku pola dan perilaku bertani mereka masih sangat dipengaruhi oleh keterbatasan modal dan pengetahuan tentang teknologi pertanian.

“Mau tak mau selama ini kami bertani dengan pola seadanya. Selain modal pas-pasan, kami kurang mengetahui teknologi pertanian,” kata Amiruddin (35), petani asal Desa Lolu, Kecamatan Biromaru.

Hal serupa dikemukakan Rizal (37) dan Suwarsih (50). Petani di Desa Oloboju ini mengaku hingga saat ini mereka masih menggunakan cara-cara yang sangat tradisonal dalam mengolah lahan pertaniannya. “Makanya kami berharap pihak pemerintah terutama para penyuluh pertanian lebih sering dan serius mengajarkan kami soal teknologi pertanian,” kata Rizal. CR5

Tidak ada komentar: