Oleh : Wilianita Selviana
Fenomena politik praktis melalui pencitraan figur yang marak dilakukan oleh para politisi akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 memang sangat menyibukan para politisi di Indonesia, demikian pula Sulawesi Tengah. Di semua daerah kabupaten dan kota, sepanjang jalan yang dilewati pasti terpampang baliho-baliho besar yang memuat himbauan untuk memilih orang-orang yang berpose di dalamnya yang katanya berjuang untuk kepentingan rakyat melalui Pemilu 2009.
Beragam pose dipampang bak ‘foto model’ yang sering dijumpai pada poster-poster yang dijual murah di pasar inpres. Semuanya berlomba-lomba tampil paling menarik, paling cantik atau paling gagah dengan pencitraan figur masing-masing ditambah kata-kata manis penuh harapan akan Indonesia yang lebih baik serta kesejahteraan rakyat yang akan terjamin jika mereka terpilih, tak lupa juga biasanya diselipkan gambar tokoh-tokoh yang menjadi ikon partainya.
Tata kota yang memang sudah semrawut semakin buruk dengan bertebarannya atribut kampanye dimana-mana. Baliho, banner, pamphlet, sticker, semua terpajang di setiap sudut kota bersanding dengan iklan rokok, sabun, detergen, motor dan handphone atau produk lainnya yang selama ini terpajang rapi di tempat yang memang telah disediakan. Karena iklan-iklan ini jelas kontribusinya ke daerah melalui pembayaran retribusi, lalu bagaimana dengan politisi yang memajang pose mereka akankah juga membayar retribusi? Belum tentu, tunggu nanti sajalah jika mungkin terpilih.
Pencitraan figur dalam politik praktis memang dinilai wajar-wajar saja, akan tetapi sangat mengkhawatirkan jika pemilih tidak diajarkan untuk cerdas. Pemilih bisa akan dengan mudah terkecoh dengan pose-pose yang sangat menarik tanpa tau dan kenal siapa orang yang berpose itu. Apalagi dengan kondisi saat ini, sebagian besar pemilih menjadi apatis tidak lagi peduli siapa yang akan terpilih karena mereka percaya tidak akan ada perubahan yang signifikan terjadi pada negeri ini selama politik praktis itu dijadikan prioritas utama sebagai jalan menuju perubahan.
Kekhawatiran ini sangat beralasan, dimana kondisi sosial, ekonomi dan ekologi yang semakin merosot tajam perlu menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak terutama para pengambil kebijakan dan wakil rakyat untuk tidak mementingkan diri sendiri ataupun golongan demi tujuan sesaat yang mengorbankan rakyat dan lingkungan. Angka kemiskinan yang terus meningkat di tengah-tengah kekayaan sumber daya alam yang dimiliki adalah potret ironi yang terjadi pada negeri ini. Eksploitasi sumber daya alam yang juga sebanding dengan perusakan lingkungan skala besar telah terbukti di depan mata. Bencana bertebaran di semua daerah tanpa bisa diprediksi lagi, hingga kewalahan mengahadapinya. Sulawesi Tengah tercatat lebih dari 200 kali terjadi banjir dan longsor sepanjang tahun 2007 hingga 2008. Sementara ‘karpet merah’ terus digelar untuk ekspansi industri pertambangan dan perkebunan skala besar (sawit) yang sepanjang sejarahnya selalu menimbulkan dampak lingkungan yang luar biasa bahkan sampai menggusur sumber-sumber mata pencaharian utama rakyat. Siapapun yang membiarkan kondisi ini terus berlangsung, dia adalah perusak lingkungan dan tidak patut dipilih dalam Pemilu 2009.
Pemilu 2009 mendatang adalah momen penting menentukan arah perubahan bangsa ini pasca reformasi. Kemandirian serta kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat adalah hal utama bukan sekedar jargon. Namun jika para perusak lingkungan justru tetap diberi ruang yang seluas-luasnya, harapan itu akan tetap menjadi harapan dari masa ke masa. Sudah saatnya rakyat bangkit melawan pembodohan dengan politik pencitraan. Rakyat harus menjadi pemilih yang cerdas di Pemilu nanti dan yang pasti, “Jangan Pilih Perusak Lingkungan!”(Ne sélectionnez pas le destroyer environnement!)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar