Poros Edisi IX/X Mei 2009
Walhi : Sebaiknya Pemda Kaji Ulang Investasi Perusahaan Sawit
Palu, Poros – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng mendesak agar Pemda mempertimbangkan kembali rencana investasi sawit PT. Agung Lestari Kebun di Parigi Moutong (Parimout). Hal itu itu disampaikan melalui Kepala Divisi Advokasi dan Kampnye Walhi Sulteng Andika Setiawan saat ditemui media ini Selasa pekan lalu di kantornya.
“Sebaiknya Bupati Parimout mengkaji ulang rencana tersebut. Hal ini berterkaitan dengan kelemahan dan dampak yang ditimbulkannya. Ini dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan yang lebih objektif agar tidak terjadi masalah kedepan ,” ungkapnya.
Dia menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah jenis tanaman asing dilingkungan petani Indonesia dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1884” jelas Andika.
Lebih lanjut kata Andika tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang dibawa dari Afrika Barat oleh Belanda ditanam pada saat itu di Kebun Raya Bogor. Kemudian mulai dikembangkan secara komersial pertamakali pada tahu 1911 terangnya.
Andika juga mengingatkan Bupati Parimout, bahwa kelapa sawit memiliki segudang kelemahan dan dampak jangka panjang maupun jangka pendek yang sangat ekstrim. Menurtnya kelapa sawit merupakan jenis tanaman monokultur yang semestinya hanya diperkuat dalam bentuk intensifikasi, kini telah diperluas dan hingga saat ini secara laten mengancam kehancuran komoditi local dibeberapa daerah.
Disisi lain menurun andika kelemahan mendasar kelapa sawit karena tanaman ini merupakan komoditi yang sangat rakus menggunakan air, disamping itu kata Andika tanaman kelapa sawit belakangan telah menjadi penyumbang karbon terbesar menurut data yang dipublikasikan PT. Pelangi Abadi Citra Enviro (PEACE), 2007, Indonsia menduduki pringkat ketiga akibat deforestasi dimana salah satunya disebabkan oleh aktivitas pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan komposisi emisi berkisar 551(tCO2) pada pembukaan lahan mineral ditambah dengan pembukaan lahan kayu mencapai angka 661 (tCO2).
“Sementara hasil pembagian kelapa sawit umumnya masih dalam kerangka yang menguntungkan perusahaan lebih banyak. Baik dalam praktek Perkebunan Inti Rakyat (PIR), baik dari plasma, maupun inti pada substansinya tetap mendukung hasil dengan pembagian 80 persen bagi perusahaan dan 20 persen bagi petani. Itupun harus dibagi dengan penghasilan daerah,” kata Andika.
Dika, panggilan akrab pria yang masih duduk dibangku kuliah sebagai mahasiswa jurusan Komunikasi Untad ini menjelas lebih lanjut bahwa kolaborasi modal dalam perkebuna kelapa sawitpun hanya menjanjika komoditi ini sebagai sumber surplus yang terus menaikkan tingkat pengembalian nilai dari perluasan aliran modal usaha.
Sementara pihak lain yang memiliki kepentingan besar dengan pola ketergantungan yang diciptakan dalam relasi produksi industry perkebunan kelapa sawit seperti buruh dan petani hanya dianggap sebagai sesuatu yang bisa ditukar apabila sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
“Artinya dengan segudang permasalahan yang diakibatkan dari pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, mestinya Bupati Parimout sudah berfikir lebih jauh kedepan. Tidak harus mengejar volue atas pemenuhan Pendapatanm Asli Daerah (PAD) semata, sementara eksistensi kesuburan tanah dan masa depan pertanian diabaikan,” jelasnya.
Padahal menurut Andika semangat perkebunan besar harusnya mampu melahirkan gagasan komoditi yang bisa diperbaharui dan memberikan jalan kesejahteraan bagi masyarakat, akan tetapi dengan tingkat kerusakan yang ditimbulka penguasaan tanah secara mayoritas, kelak hanya menyisahkan padang luas yang tandus kekeringan. PHAY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar