Media Alkhairat, 14 Mei 2009
Relokasi Dongi-dongi dan Kepentingan REDD
Oleh: Wilianita Selviana
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tengah
Belakangan telah mencuat lagi tentang rencana relokasi masyarakat Dongi-dongi yang bermukim dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Sejak reclaiming (aksi pendudukan lahan) yang dilakukan pada tahu 2000 di kawasan ini, sudah tiga kali rencana relokasi pada tahun 2002, 2004 dan 2007 ini gagal.
Namun kali ini sepertinya pemerintah daerah tidak main-main lagi, sinyal ini sudah terlihat ketika Gubernur Sulawesi Tengah H.B. Paliudju yang terpilih pada Pilkada Gubernur pada tahun 2006 menyatakan tidak ada pembanguna sarana pendidikan maupun sarana kesehatan di Dongi-dongi dengan alasan wilayah tersebut merupakan zona rehabilitasi kawasan TNLL. Lalu pernyataan ini disusul dengan pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) Widagdo, bahwa sebelum terjadi pengrusakan kawasan Dongi-dongi merupakan zona inti kawasan TNLL, namun kondisinya saat ini yang membuat status dialihkan menjadi zona rehabilitas.
Aksi penolakan masyarakat Dongi-dongi yang berkali-kali dilakukan hanya ditanggapi dingin baik oleh pemerintah daerah maupun BTNLL. Sikap mereka seolah-olah menegaskan bahwa kali ini tidak ada lagi kompromi. Deforestasi di TNLL akibat praktek ilegal logging yang dilakukan oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi alasan kuat untuk merelokasi masyarakat Dongi-dongi.
Dalam kasus ini pemerintah daerah begitu gigih mempertahanka kawasan hutannya dengan alasan konservasi berbeda dengan kasus alih fungsi kawasan hutan untuk pertambangan, perkebunan sawit ataupun HPH/IUUPHHK mereka justru dengan besar hati memberikan hutannya dirambah.
Kegigihan ini jelas terlihat dengan program relokasi tahun 2009 yang telah direncanakan melalui anggaran program percepatan pembangunan Sulawesi Tengah, seperti yang tertuang pada Instruksi Presiden Inper No. 7 tahun 2008 tentang Program Percepatan Pembangunan Sulteng 2008-20110. Lagi-lagi jelas ada intervensi dari pemerintah pusat.
Jika dicermati fenomena perubahan iklim dan tawar-menawar tari REDD (Reduction Emmission Degradation), maka akan bisa dilihat keterkaitan masalah ini. Deforestasi (penebang hutan) ternyata telah menjadikan salah satu penyebab Indonesi sebagi focus perhatian dunia karena perannya dalam mengahasilkan emisi gas rumah kaca.
Akibat deforestasi, Indonesi menempati posisi ketiga di dunia sesudah Amerika Srikat dan Cina sebagai penghasil emisi rumah kaca. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa deforstasi, kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut disebut-sebut sebagai penyebab utama emisi Indonsi (Dilworthet/2008:20)
Penggunaan lahan dan alihfungsi tanah mengakibatkan pelepasan 2-3 miliyar ton CO2 setiap tahun (Anderson & Kuswardono 2008: 3). Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan skema REDD karena tuntutannya adalah memasukkan peninggian stok karbon dan pengelolaan hutan secara berkelanjuta yang cenderung pada pendekatan nasional (Angelse 2008). Menteri Kehutanan akan memiliki kekuasaan dalam memberikan hak untuk kegiatan REDD. Pemerintah Indonesia juga telah menyatakan dukungannya terhadap pemasukan total kredit REDD kedalam pasar karbon yang sudah ada (Angelsen 2008: 49). Bank Dunia memberikan perkiraan yang jauh lebih tinggi yaitu US$2-20 milyar pertahun untuk mengurangi deforestasi sebesar 10-20% (FOEI 2008).
Sementara banyak organisasi non pemerintahan (ornop) mengkhwatirkan dana REDD akan dialihgunakan untuk mendanai perluasan perkebunan kayu. Seperti disebutkan diatas, Mentri Kehutanan menentukan diri sebagai aparat koordinasi utama untuk skema REDD di Indonesia.
Menteri Kehutanan terkait erat dengan kepentingan disektor pulp and paper dan perkebunan di Indonesia. Draf Kebijakan REDD menyatakan bahwa siapa saja yang memegang izin dari Menteri Kehutanan termasuk pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan pemegang Izin Usaha Pemanfaata Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanam (IUPHHK-HT) dapat mengembangkan proyek REDD dan menyerahkan usulannya ke Menteri Kehutanan (Anderson & Kuswardono 2008: 6). Tanda-tanda yang sangat membahayakan.
Dongi-dongi merupakan salah satu wilayah yang dianggap potensial menjaga stok karbon yang ada di Indonesia.
Tentunya dengan alasan statusnya sebagai zona inti dalam kawasan TNLL dan kemudian rusak lalu akan direhabilitasi.
Kemungkinan terbesarnya ketika kawasan ini di rehabilitasi, pilihan utamanya adalah dengan penanaman tanaman hutan homogen yang kurang lebih akan sama dengan Hutan Tanam Industri (HTI). Sehingga upaya relokasi masyarakat Dongi-dongi adalah keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat lagi sebagaimana disetujui oleh Menteri Kehutanan dan diamini melalui dana program percepata pembangunan Sulawesi Tengah.
Sementara disisi lain, Menteri Kehutanan berencana akan menerbitkan izin pinjam pakai kawasan untuk rencana pembangunan PLTA Lindu dalam kawasan TNLL yang katanya hanya membutukan lahan kurang lebih 10 Ha.
Sikap tidak konsisten ini memang suadah sejak lama ditunjukkan oleh pemerintah dengan adanya kebijakan BTNLL tentang pengakuan terhadap Desa Katu, Doda, dan Toro. Kebijakan ini secara prinsip mengakui sistem penglolaan ketiga desa tersebut dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Meskipun semangat pengakuan tersebut tetap melekatkan ketiga desa itu kedalam subordinat TNLL.
Lalu bagaimana dengan Dongi-dongi dan desa-desa lain yang berada dalam kawasan TNLL yang tidak memperoleh pengakuan hingga saat ini.
Padahal, desa-desa itu juga memiliki pengelolaan sumberdaya alam yang arif dan ekologis.
Mestinya terhadap desa-desa itu juga diberi pengakuan, sehingga pemerinta melalui BTNLL tidak bertindak diskriminatif di Lore Lindu. Apalagi sikap ini didasari oleh kepentingan lain seperti REDD yang sudah pasti sangat jauh dari tuntutan sederhana kehidupan masyarakat yang membutuhkan lahan produktif untuk peningkatan kesejahteraan mereka yang justru diabaikan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar