Media Alkhairat, Selasa 1 Sepetember 2009
Tambang Emas Poboya untuk Rakyat
Oleh: Andi Ridwan Adam
“…Diamana ada gula disitu ada semut…”
POBOYA tanah tandus nan kering dari zaman doeloe sampai pada sekarang sehingga jangankan untuk dikunjungi disentilpun untuk disebut namanya juga tidak, tiba-tiba masyarakat berdatangan baik dari daerah Kota Palu maupun dari luar daerah di tanah tandus Poboya, Kenapa? Karena di Poboya menjadi tanah Pengharapan untuk mencari sesuap nasi dan sepiring emas.
Dari beberapa media lokal yang memberitakan tentang penambangan masyarakat di daerah Poboya, para nara sumber cenderung menyalahkan pihak rakyat, sehingga tercipta opini bahwa penambangan rakyat tersebut dengan segala aktifitasnya adalah illegal dan merusak lingkungan serta dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan para penambang itu sendiri dan lebih ekstrim lagi gejolak sosial akan timbul, sehingga segala daya dan upaya pemda untuk memberhentikan rakyat melakukan penambangan sambil menunggu datangnya investor untuk melakukan penambangan yang berskala besar.
Kemarin Gubernur sudah memberikan ultimatum kepada rakyat bahwa segala aktivitas penambangan di Poboya segera dihentikan dengan satu alasan klasik karena telah merusak lingkungan. Artinya aktifitas penamabangan emas di Poboya hanya bisa dilakukan oleh investor Kaya. Dengan semboyan Konglomerat yes!..Rakyat No.!!
Keputusan ini, membuktikan betapa kuatnya propaganda pihak asing terutama dalam mengarahkan paradigma berpikir para pemgambil keputusan di negeri ini, mulai pemerintah pusat sampai pada pemerintah daerah, sangat jelas terlihat bahwa hanya orang kaya yang mampu, terkhusus bahwa hanya orang asing yang dapat mengelolah penambagan Emas di Poboya, dari fakta ini menunjukkan Pemda tidak berpihak pada Rakyat.
Rakyat hanya dibutuhkan pada saat menjelang Pemilu dan pada pemilihan Gubernur serta pemilihan walikota, kendati para elite daerah mendatangi rumah rakyat demi mendapatkan dukungan suara , tetapi setelah Pemilu dan Pilkada selesai, elite daerah kembali pada prilaku buruknya yaitu membuat kebijakan yang merugikan Rakyat. “Habis manis sepah dibuang”.
Berangkat dari problematika ini, penulis terdorong untuk ikut memberikan komentar lewat ruang dan kesempatan ini, tentunya untuk memberikan pendapat dan argument bahwa penting semua pihak termasuk Pemda itu sendiri mendorong dan mengarahkan masyarakat Poboya maupun pendatang dari luar Poboya(Mereka juga Rakyat Indonesia), untuk tetap melakukan penambangan, tetapi dengan catatan yaitu lebih terarah dan terancana, agar dapat meningkatkan kualitas maupun produktivitas yang lebih menguntungkan kepada semua pihak dengan tidak merusak lingkungan.
Rakyat Poboya dan masyarakat sekitarnya, hari ini telah membuktikan dirinya bahwa mereka memiliki kemampuan mengelolah sebuah pertambangan dari bongkahan batu dieloh menjadi emas (logam murni), secara mandiri dengan alat yang sederhana, sesuai dengan kemampuan modal yang dimilikinya.
Dan jika ada persoalan dalam perjalanannya, maka disinilah peran semua pihak sesuai dengan fungsi dan kewengannya masing masing, yang diamanatkan oleh Negara kepadanya.
Penulis melihat SDA yang ada di Poboya berupa emas merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada rakyat Indonesia dan khususnya masyarakat Poboya, yang selama ini tak henti-hentinya berdoa kepada Sang penguasa Tunggal yang Maha Kaya, agar mereka dikeluarkan dari lilitan kemiskinan dan keputusasaan hidup, akibat kemiskinan struktural yang dideritanya, buah dari elite Negara (kaum aristokrat baru) yang tidak berpihak kepadanya selama ini.
Disinilah Perlunya Pemda memberikan ruang dan kesempatan kepada Rakyat untuk melakukan penambangan di Poboya dengan memperhatikan dasar pertimbangan secara konfrehensif integral sebagai berikut :
Filosofis
Negara ini dibangun dengan tujuan memberikan Keadilan dan Kesejahteraan. Lalu Keadilan dan Kesejahteraan untuk siapa ? jawaban hanya satu kata yaitu untuk Rakyat, sebagaimana amanat Pembukaan UUd 45 “…untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia…” dan setiap pemerintahan dalam menjalankan pemerintahannya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Berdasarkan tujuan Negara ini, maka semua prodak hukum harus mengabdi kepada tujuan ini, olehnya tidak dibenarkan hukum maupun kebijakan terlahir bertentangan dengan tujuan Negara tersebut. Olehnya para pengambil keputusan baik dijakarta maupun di Palu harus memperhatikan dan tunduk terhadap tujuan ini sebagai alat ukur dalam membuat suatu kebijakan, tentu tak terkecuali termasuk kasus penambangan rakyat di Poboya.
Historis
Seberapa tua pemakaian besi dan mineral lainnya dalam kehidupan, setua itulah umur pertambangan dilakukan rakyat. Pertambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan alat-alat sederhana. Pada tahun 1651 emas dapat diperoleh secara resmi dari tangan VOC di pantai Pariaman, Minangkabau. Perdagangan emas ini berlangsung atas perjanjian bilateral antar Bandaharo di Sungai Tarab yang mengusai distribusi pengangkutan emas dari Saruaso, pedalaman Minangkabau . Dua orang Bandaharo yaitu Bandaharo Putih dan Bandaharo Kuning mengendalikan ekspor emas dari pedalaman Minangkabau, sampai pada akhir abad XVIII.
Di daerah Gorontalo, tercatat pertambangan emas telah dimulai sejak jaman Belanda. Van Bemmelen (1949) telah melaporkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi emas dan tembaga di daerah Buladu oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai sejak Zaman Hindia – Belanda (abad ke-18). Bukti sejarah yang terdapat di daerah ini antara lain 3 buah kuburan Belanda di Pantai Buladu yang meninggal tahun 1899, lubang-lubang tambang dengan rel dan lori, alat pengolahan bijih emas berupa belanga berukuran besar, dan tailing padat yang terdapat di sekitar lokasi tamban.
Sementara penambangan rakyat yang lebih muda umurnya dalam sejarah seperti penambangan yang dilakukan di daerah Kelian, Kalimantan. Usaha penambangan emas oleh masyarakat setempat di Kelian diperkirakan baru dimulai setelah tahun 1930. Sebab, para geolog Belanda yang melaporkan adanya penambangan batu bara sekitar enam kilometer dari muara Sungai Kelian pada awal tahun 1930-an tidak melaporkan adanya penambangan emas. Penemuan emas oleh suku Dayak yang berdiam di pinggir sungai itu baru dilaporkan pertama kalinya tahun 1950-an. Menurut catatan pemerintah, tahun 1958-1963 dihasilkan emas 100-300 kg per tahun. Tetapi, diduga emas yang didapatkan lebih besar dari yang tercatat itu. Areal inilah yang kemudian diberikan konsesi oleh pemerintah kepada PT. Kelian Equatorial Mining (KEM).
Panjangnya lintasan sejarah yang dilalui oleh pertambangan dalam kehidupan rakyat, dapat dilihat pada aturan-aturan local (adat) dibanyak tempat , mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pertambangan. Di Minangkabau (Sumbar) terdapat aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat-sumberdaya tambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar