Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan Akhir Tahun 2008 Kondisi Lingkungan Sulawesi Tengah















di publish oleh : Media Alkhairaat edisi, 31 Desember 2008

Menanti Sejahtera Tanpa Bencana Harus Datang Setiap Hari

Oleh : Wilianita Selviana (Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah)

Maraknya investasi di Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2008 telah mengabaikan faktor penting yaitu daya dukung lingkungan daerah ini. Praktek ekspansi modal di berbagai wilayah kabupaten dan kota selalu tidak dibarengi dengan komitmen transparansi proyek yang baik dan prosedural serta menjamin kelestarian lingkungan bahkan juga meminggirkan sektor pertanian yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan masyarakat di Sulawesi Tengah.

Sejumlah daerah kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah yang memiliki potensi tambang baik itu emas, nikel, bijih besi dan migas beramai-ramai ‘dijual’ ke pemilik modal atau dilakukan tukar guling antar pemilik Kontrak Karya dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) ataupun izin konsesi lain yang tidak lagi aktif di lapangan. Pemenuhan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi alasan yang klasik memang tapi mampu mengelabui masyarakat yang dari dulu hingga kini dijanjikan kesejahteraannya.
Investasi, Kepentingan Modal vs Degradasi Lingkungan

Sebelum disahkan UU Minerba tanggal 16 Desember 2008 yang lalu, tercatat saat ini 6 perusahaan yang mengantongi Kontrak Karya, lebih dari 100 perusahaan mengantongi 151 ijin Kuasa Pertambangan dan 68 perusahaan mengantongi Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dengan total luasan konsesi mencapai 2.405.162 Ha. Menurut perhitungan sementara Walhi Sulteng, diperkirakan areal kuasa pertambangan tersebut separuhnya (lebih dari 1 juta hektar) mengambil kawasan hutan.

Semangat menyukseskan program percepatan pembangunan Sulawesi tengah yang salah satunya adalah membangun infrastruktur mulai digalakan. Proyek jalan alternatif Mamboro-Parigi senilai kurang lebih 200 milyar rupiah diharapkan bisa menunjang lalu lintas ekonomi masyarakat menjadi lebih baik lagi. Proyek ini seolah-olah menjadi lebih prioritas dibanding yang lain, hingga pemerintah kota Palu sendiri bersedia menalangi sementara pembebasan lahan masyarakat yang akan dilalui jalur ini dari dana APBD sambil menunggu pencairan dana dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Abu Rizal Bakrie sebagaimana yang dianggarkan di APBN. Namun sayangnya hingga hari ini Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Detail Engineering Desain (DED) dari proyek milyaran rupiah ini belum tampak wujudnya. Di saat yang bersemaan pula rencana pembukaan tambang emas Poboya yang berada dalam satu kawasan dengan proyek jalan poros ini, akan kembali dilakukan oleh PT. Bumi Resources yang notabene adalah milik Bakrie Group. Masih sekaitan dengan kawasan yang sama yaitu Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah, di revisi tata ruang propinsi tahun 2008 ada rencana untuk menyusutkan kawasan ini dari total luasan 7.128 Ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999 tanggal 29 Januari 1999, karena kondisi terakhir menunjukan berkurangnya tegakan pohon dalam kawasan dan yang ada hanya tinggal semak belukar. Suatu kebetulan yang sangat menarik dan tidak diduga sebelumnya.

Sementara itu ekspansi perkebunan skala besar dalam wujud perkebunan sawit juga tidak tanggung-tanggung membabat hutan dan lahan pertanian masyarakat. Sebut saja kasus di desa Era kec. Mori Atas sekitar 36km dari kota Kolonodale. PT Rimba Alam Sejahtera (RAS) anak perusahaan dari Astra Agro Lestari menggusur lahan perkebunan karet masyarakat pada bulan Februari 2008. Seluas 6.000 Ha sudah ditanami sawit dari rencana 8.000 Ha. Selain karet, tanaman kakao juga sudah digusur namun belum diganti rugi hingga saat ini. Dalam keadaan terpaksa akhirnya masyarakat menjual tanahnya sangat murah sekitar 500.000,00/ha. Di Kabupaten Poso pun kurang lebih sama lokasi seluas 9.775 Ha yang dicanangkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah HB. Paliudju pada tanggal 25 Agustus 1996 untuk pemukiman dan pertanian, oleh Pemerintah Kabupaten Poso pada tahun 2008 ini diberikan izin lokasi bagi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Sawit Jaya Abadi (Astra Agro Lestari) seluas 8.500 Ha.

PT. Sinar Mas juga tidak ketinggalan, perusahaan perkebunan sawit yang satu ini sudah memulai aktivitasnya pada tahun 2006 berlokasi di kec. Lembo dengan luas konsesi 5.170 Ha. Saat ini perusahaan sudah melakukan penanaman sekaligus pembibitan. Rencananya PT. Sinar Mas akan mengelola perkebunan sawit ini dengan system plasma rakyat. Dari informasi tim teknis penyusun Dokumen AMDAL Sinar Mas Group, sebenarnya Sinar Mas mengincar lahan sekitar 60.000 Ha melalui 9 anak perusahaannya. Hanya saja mereka belum tahu dengan pasti daftar nama anak perusahaan selain PT. Primatama Kreasi Mas, pada umumnya mereka lebih mengenal dengan nama Sinar mas Group saja. Kawasan hutan juga tidak menjadi pengecualian untuk ekspansi perusahaan ini mengingat kebiasaannya mengganti tegakan kayu hutan dengan tanaman sawit di beberapa daerah lain di Indonesia.
Pemenuhan target biofuel sebagai energi alternatif pengganti energi fosil adalah salah satu pemicu utama ekspansi perkebunan sawit. Pembangunan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber energi nabati menjadi ‘jualan’ yang sangat laku saat ini dan pilihan mayoritasnya adalah sawit padahal fakta lapangan menunjukan perkebunan sawit telah mengancam ketersediaan sumber air bersih, menimbulkan konflik agraria dan berkurangnya kualitas tanah serta mengancam ketahanan pangan di wilayah operasinya.

Masalah lain adalah kebijakan energi daerah yang simpang siur. Hal ini menyebabkan krisis energi listrik yang sudah bisa dikategorikan sebagai bencana. Semua kabupaten dan kota yang ada di Sulawesi Tengah mengalami pemadaman listrik lebih dari 6 jam setiap hari. Padahal ketergantungan masyarakat terhadap energi listrik meningkat setiap harinya. Beberapa waktu lalu terjadi saling tuding antar pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sulawesi Tengah dengan pihak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mpanau yang selama ini bekerja sama untuk suply energi listrik di wilayah ibukota propinsi juga turut berpengaruh menjadikan warga korban utama. Begitu pula dengan PLTA Poso 2 yang akan segera beroperasi, Sulawesi Tengah hanya mendapat ’jatah’ 30 % dari total energi yang dihasilkan, itupun tetap dengan prinsip jual beli. Artinya Sulawesi Tengah juga harus membayar energi yang dihasilkan dari PLTA Poso 2 sebagiamana konsumen lainnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang membeli energi listrik dari PLTA Poso 2.

Namun ketidak jelasan posisi tawar yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda), seperti pada proyek PLTU Mpanau dan PLTA Poso tidak dijadikan bahan evaluasi untuk proyek lainnya. Terbukti saat ini segera dibangun PLTA Gumbasa di Kabupaten Sigi Biromaru, masih dengan alasan yang sama yaitu krisis energi. Lagi-lagi pihak swasta menjadi sandaran pemda. Wajar kemudian jika ada suara-suara sumbang menuntut pertanggungjawaban penggunaan dana-dana APBD yang dianggarkan untuk kesejahteraan masyarakat selama ini. Proses penyelesaian krisis yang instan seperti ini, selalu menjadi pilihan utama ketimbang kebijakan yang berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan serta lebih ramah lingkungan.

Berharap Bencana Tidak Datang Setiap Hari
Bencana banjir dan longsor yang terjadi hampir di seluruh wilayah Sulawesi Tengah semakin parah pada pertengahan tahun 2008 dimana bukan hanya menimbulkan korban jiwa saja tapi lahan pertanian masyarakat juga sarana dan prasarana seperti jembatan dan jalan poros rusak total, yang kemudian memutus jalur transportasi antar wilayah kabupaten/kota. Dari hasil pantauan media tercatat lebih dari 100 kali terjadi banjir dan longsor sepanjang tahun 2007-2008 hampir di semua wilayah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Penyebabnya selain akibat curah hujan tinggi yang diduga karena perubahan iklim (climate change) juga akibat laju deforestasi Sulawesi Tengah yang hampir mencapai 100.000 Ha per tahun (Walhi Sulteng, 2008).
Bencana lain adalah pemadaman listrik yang terjadi setiap hari. Hal ini menyebabkan makin buruknya kondisi perekonomian daerah karena hampir semua sektor usaha memiliki ketergantungan yang besar terhadap energi listrik. Pemadaman listrik juga memicu terjadinya kebakaran di sejumlah rumah warga akhir-akhir ini yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan lilin sebagai alat ganti penerangan. Kerugian sektor usaha ekonomi yang besar dirasakan oleh pelaku usaha maupun rumah tangga saat ini merupakan bencana sosial.
Kehadiran investor ataupun kepentingan pemilik modal di daerah ini merupakan bagian dari upaya pembangunan daerah yang lebih baik bukan ‘mengundang’ bencana datang setiap hari. Banjir bandang yang melanda kabupaten Morowali tahun 2007 lalu, anggota Komisi VI DPR menyerahkan bantuan sebanyak Rp 15 juta dan Departemen Kesehatan mengirimkan bantuan Rp 100 juta dana operasional penanggulangan bencana juga dari PT. Jamsostek mengucurkan dana Rp. 100 juta (dari berbagai sumber). Untuk pemadaman listrik harusnya Pemerintah bisa mengeluarkan anggaran sosial untuk mengatasi hal ini. Bukan justru berdebat siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi seperti saling lempar tanggung jawab yang terjadi antara pemerintah provinsi (Pemprov) dan pemerintah kota (Pemkot) Palu saat ini.

Euforia Politik Mengalihkan Isu Penyelamatan Lingkungan
Menjelang Pemilu 2009 mendatang, hampir semua perhatian tersita menyaksikan kampanye para politisi yang akan berebut kekuasaan di negeri ini. Sulawesi Tengah juga kondisinya tidak jauh berbeda, kerusakan lingkungan dan laju penyusutan tutupan lahan hutan menjadi cerita usang. Perbincangan seputar partai politik, peluang pemenang peserta Pemilu 2009 dan siapa calon presiden yang paling diminati adalah topik yang lebih menarik. Euforia politik telah mengalihkan perhatian masyarakat dari fakta lapangan tentang kondisi daya dukung lingkungan dan bencana yang setiap hari menjadi pemandangan di depan mata.

Pertarungan penguasaan ruang pada wilayah kawasan-kawasan hutan dan pemukiman yang didasarkan hanya pada kepentingan sektor penguasaan hutan, perkebunan dan pertambangan diabaikan oleh para politisi bahkan ada juga yang justru memperoleh keuntungan dari hal ini. Jika dikalkulasi, daratan Sulawesi Tengah seluas 6.036.950 Ha yang dikuasai oleh Negara 2.760.290 Ha (45,72%) dengan klasifikasi Hutan Lindung (HL) seluas 1.337.710 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 1.422.580 Ha. Sementara yang dikuasai oleh Investor seluas 3.715.755,39 Ha (61,55 %). Jadi semakin jelas bahwa tidak ada lagi lahan untuk kepentingan rakyat karena hutan yang dikuasai Negara pun dialih fungsikan untuk kepentingan investasi

Upaya penyelamatan lingkungan adalah suatu keharusan bagi daerah ini, pembiaran terhadap proses pengalihan lahan pencanangan untuk pertanian menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit yang mengancam sumber pangan masyarakat, konflik kepemilikan lahan dan degradasi lingkungan merupakan sikap yang sangat disayangkan. Jika melihat sekilas jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2004-2006 terus merabah naik baik dilihat dari angka absolute maupun angka relatif(tabel 1). Kenaikan yang cukup drastis, yaitu dari 486,3 ribu (21,69 persen) pada tahun 2006 menjadi 566,1 ribu (24,09 persen) pada tahun 2006. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama tersebut terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 16,33 persen(2005). Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi semakin miskin. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 557,4 ribu dan secara relatif juga terjadi penurunan perentase dari 24,09 persen pada tahun 2006 menjadi 22,42 persen namun hal ini tidak begitu signifikan. Angka penerima bantuan langsung tunai (BLT) pun tidak berubah dari tahun 2005 hingga 2008 sebesar 210,378 KK. (BPS Sulteng, 2008)

Perbaikan kondisi Lingkungan, Sosial dan Ekonomi di Sulawesi Tengah seharusnya dimulai dengan pembenahan dari dalam bukan dari luar. Apalah artinya investasi besar-besaran masuk ke daerah ini jika ternyata berbanding terbalik dengan kondisi yang diharapkan. Posisi tawar pemda yang lemah dan ketidakkompakan antar pengambil kebijakan di daerah ini, dalam merumuskan kebijakan yang berdampak positif untuk jangka panjang tanpa mengutamakan proses instan sudah harus dilakukan saat ini. Selain itu, bukan hanya angka kemiskinan yang harus ditekan tetapi juga laju deforestasi di daerah ini karena hutan kita bukan untuk digadaikan melainkan untuk diwariskan bagi generasi datang. Sehingga kesejahteraan itu bukan lagi mimpi yang harus dibayar dengan bencana. ***

Tidak ada komentar: