Media Alkhairaat, Rabu 28 April 2010
AKTIVITAS PERTAMBANGAN RAKYAT
Harus Dikaji Ulang
PALU – Maraknya aktivitas pertambangan rakyat khususnya pertambangan emas di sejumlah kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah saat ini, perlu mendapat perhatian semua pihak terkait dengan dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan.
Adanya aktivitas pertambangan rakyat (pertambangan emas) tersebut bukan hanya memberi dampak secara ekonomi saja guna peningakatan kesejahteraan rakyat namun juga memberi sumbangsih terhadap kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan tersebut.
Hal itu bisa dilihat terjadi di kawasan pertambangan rakyat Poboya, di Moutong Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Buol yang telah lama di kelolah oleh masyarakat setempat serta yang terbaru yang terjadi di Dataran Bulan Kecamatan Ampana Tete serta Desa Kabalo Kecamatan Tojo Barat Kabupaten Tojo Una-Una.
Koordinasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Isman kepada Media Alkhairaat mengatakan, pihaknya mendorong pemerintah daerah untuk memperhatikan hal tersebut secara serius karena jika tidak maka dampak yang ditimbulkan bukan hanya dari segi ekonomi saja tetapi juga dari segi kerusakan lingkungan dan keamanan suatu wilayah.
“Kita pada prinsipnyasetuju dengan pertambangan yang dikelolah oleh rakyat, karena memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar tetapi juga harus diwaspadai dampak negative yang diakibatkan aktivitas tersebut,” katanya.
Dia menyebutkan, dalam Undang-Undang Minerba, suatu daerah yang memiliki potensi sumber daya alam pertambangan bisa mengusulkan wilayah pertambangan rakyat (WPR) ke kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan ketentuan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Minerba.
“Wilayah pertambangan rakyat itu sangat perlu, mengingat potensi pertambangan di daerah ini cukup melimpah. Hanya saja dibutuhkan kajian yang mendalam untuk mendapatkan WPR tersebut,” sebutnya.
Saat ini kata dia, di Sulawesi Tengah berdasarkan data yang dimiliki Jatam belum ada satupun wilayah kabupaten maupun kota memiliki wilayah pertambangan rakyat. Namun yang ada berupa wilayah konsesi pertambangan yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar.
“Ini sangat ironis daerah kita lebih mengedepankan kepentingan investor dari pada rakyatnya sendiri dalam mengelolah sumberdaya alam yang dimiliki,” bebernya.
Sementara itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, Wilianita Selviana mengatakan, apapun namanya pengelolaan tambang, baik yang dilakukan oleh pertambangan rakyat maupun koorporasi besar pertambangan tidak ada yang rama lingkungan. Semua memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan hidup. Hanya saja skala distruktifnya (kerusakannya) yang berbeda.
Dia menyebutkan, jika tambang rakyat tidak dikelolah dengan baik sama saja dengan pengelolaan tambang yang dilakukan korporasi tambang besar. Pihaknya sangat mendukung kedaulatan rakyat atas pengelolaan sumberdaya alam yang tidak merusak lingkungan.
Terkait dengan usulan WPR kata Lita, seharusnya syarat-syarat untuk memperolehnya harus dikaji secara mendalam terlebih dahulu, meski syarat-syarat itu sudah termuat dalam undang-undang minerba.
“Jangan sampai maraknya aktivitas pertambangan rakyat di Sulteng sebagai salah satu pintu masuknya korporasi tambang besar di wilayah-wilyah yang memiliki potensi tambang emas di daerah ini,” tegasnya. (RAHMAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar