Media Alkhairaat, Rabu 23 Desember 2009
Duka Di Balik Alih Fungsi Lahan
Petani Toili Konsumsi Ketela
Banggai- Puluhan kepala keluarga (KK) di Desa Singkoyo, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, kurun sembilan tahun terakhir menjadikan ketela sebagai makanan pokok. Hal tersebut disebabkan oleh factor kemiskinan yang membelenggu sebagian besar Desa, setelah ribuan hektar lokasi pertanian milik mereka beralih ke perusahaan kelapa sawit. Mentari pagi mulai menghamburkan sinarnya berlahan kabut putih yang menyelimuti lembah Kabupaten Banggai, menghilang dari pandangan mata. Tidak seperti sembilan Tahun lalu, Muhctar (52) yang merupakan penduduk asli Desa Bina Tani, singkoyo, hanya bisa menghabiskan paginya, dengan duduk temerung, pada salah satu anak tangga rumah kayu berukuran sedang miliknya. Berlahan. Media ini mendekati pria bertubuh tegak itu dan coba memahami kemalasannya, sekira jarak lima meter dari tempat duduk kami mencoba memperkenalkan diri dan berusaha membangun komunikasi. Dengan suara bernada rendah, iapun membalas sapaan kami, lima menit berlalu pria tersebut masih mencoba menutup diri.
Namun setelah suasana akrab mulai terbangun antara kami dengan ayah tiga anak itu, secara berlahan ia menceritakan peristiwa pahit yang dialaminya, Ia mengaku tidak lagi menjalani aktivitasnya sebagai petani, karena lahan pertanian satu-satunya peninggalan orang tuanya yang diwariskan oleh moyangnya kini bukan miliknya lagi ”Mau bertani dimana , lahannya sudah menjadi kebun sawit ,’’ungkapnya , sambil meneguk gelas kopi yang menjadi kawan akrab saat ia mengingat masa kejayaannya.
Beberapa waktu lalu, Muchtar, mengaku pernah merilis sebuah warung sederhana yang menjual beberapa menu makanan, seperti pisang goreng , binte dan berbagai menu tambahan dari santapan tersebut, namun karena perputaran rupiah yang ada di Desa itu sangat kecil, kahirnya Muchtar dan istrinya, memilih untuk mengakhirinya tanpa lontaran pertanyaan, dengan mata berkaca, kepada Media ini pria tersebut melanjutkan penuturannya, Muchtar mengaku, sejak dua tahun setelah tanahnya dikuasai PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) , salah satu perusahaan kelapa sawit yang beroperasi diwilayah itu, sebagian besar hari-harinya bersama keluarga tercinta. Di isi dengan mengkonsumsi ketela sebagai lauk utamanya (Makanan pokok) ”Saya dan keluarga hampir setiap hari hanya makan ubi ketela, kami baru makan nasi apabila menghadiri acara penduduk lainnya atau mendapat pembagian beras murah dari pemerintah, ini untuk menghemat biaya. ” kata Muchtar, sambil memandang dua orang anaknya yang duduk sekayu dengannya, dimana tahun depan sudah harus didaftarkan sebagai Siswa Sekolah Dasar (SD).
Ketela tersebut mereka peroleh dengan bercocok tanam di atas tanah diatas tanah yang dibawa oleh bencana banjir dan lonsor ,” kalau tidak menanam diatas tanah bekas longsoran mau nanam dimana lagi?,” ujar Ketut Kota (65) warga transmigrasi asal Bali, yang sudah menetap di Desa di Kecamatan Toili sejak tiga puluh tahun silam. Ketut mangaku, lahan seluas 2 hektar miliknya bersama tanaman bawang yang belum layak panen di serobot oleh PT KLS pada 2 Juni 1995 silam. Muchtar mengaku, ia dan puluhan KK lain di Desa itu, yang lahannya masuk oleh derap sepatu penggusuran perusahaan sawit, selama ini sudah mengupayakan berbagai langkah untuk merampas kembali haknya sebagai langkah untuk merampas kembali haknya sebagai pemilik tanah, mulai dari melakukan negosiasi dengan menghadirkan pihak pemerintah sebagai mediasinya hingga demonstrasi yang beberapakali nyaris merenggut nyawa mereka, namun hingga kini belum menemukan titik terang. ”demonstrasi terakhir berlangsung pada Kamis (17/12), dimana puluhan petani yang menduduki lahan sengketa seluas 1550 hektar, coba dihentikan oleh beberapa karyawan perusahaan dengan menggunakan senjata tajam,” kata Muchtar.
Muchtar dan puluhan petani lainnya berharap penguasa Negeri ini dapat segera mengambil langkah untuk membantu perjuangan warga merebut kembali lahan yang sebagian besar adalah yang sebagian besar tanah adat, sehingga kelangsungan hidup mereka dapat terjamin dan membawa petani ketaraf hidup yang lebih layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar