Jumat, 10 Juli 2009
Lelang blok migas Tomini untuk asing'
10 Juli 2009
'Lelang blok migas Tomini untuk asing'
PALU: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah menilai pemerintah melelang Wilayah Kerja (WK) Blok Migas Tomini, karena desakan sejumlah negara maju seperti termuat dalam perjanjian ekonomi.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Andika Setiawan, mengatakan keputusan pemerintah tersebut tidak populis, karena melelang kekayaan rakyat terburu-buru dan terkesan dipaksakan. “Seharusnya pemerintah mengkaji ulang beberapa catatan pengelolaan blok migas, karena di beberapa wilayah pengelolaan migas cenderung memposisikan negara sebagai penjual bahan mentah, dan keuntungannya hanya dirasakan para pengusaha asing,” ujar Andika di Palu, kemarin.
Menurutnya, rencana pemerintah yang akan melelang 7 blok migas di Tomini hanya memberikan kesempatan luas bagi perusahaan asing mendominasi penawaran wilayah kerja migas periode I 2009.Andika menguraikan, secara ekonomi politik pengelolaan migas di tanah air lebih banyak memenuhi perjanjian ekonomi seperti EPA (Economic Partnership Agreement), antara Pemerintah Jepang dengan Indonesia, yang salah satu isinya adalah untuk memenuhi pasokan migas Jepang sebesar 30% dari total hasil migas Indonesia.
Contoh kongkrit adalah pengelolaan migas hulu-hilir Donggi Senoro, di Kabupaten Banggai, Sulteng, di mana perusahaan Mitsubishi Jepang mendominasi kepemilikan saham sektor hilir sebesar 57%. Menurut Andika, ketika masyarakat menginginkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan nasional, justru pemerintah melakukan pelelangan terhadap sumber-sumber itu. Dan lelang yang dilakukan secara terbuka umumnya dimenangkan pihak asing.
Dikelola pusat
Sementara dalam kesempatan terpisah pengelolaan tambang emas di Bombana, Sulawesi Tenggara dalam waktu dekat dikelola pemerintah pusat. Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam meminta pemerintah pusat turun tangan mengelola tambang emas di Kabupaten Bombana, karena ada indikasi pemerintah kabupaten memberikan hak pengelolaan hanya kepada sekelompok orang, dan mengabaikan kepentingan masyarakat setempat.
Menurut gubernur, sejak ditemukan tambang emas di Bombana, pendapatan asli daerah (PAD) dari penerimaan bukan pajak saja diperkirakan mencapai Rp70 miliar. “Namun, sampai saat ini kita tidak tahu ke mana uang itu," katanya. Dia menilai, pemerintah kabupaten melakukan kegiatan-kegiatan melanggar ketentuan dengan haya mengakomodasi sekelompok orang mengeksploitasi sumber daya alam di sana,” katanya, kemarin. Terkait hal itu, lanjut dia, pemerintah provinsi telah menurunkan tim untuk melakukan investigasi.
Selain dari penerimaan bukan pajak yang nihil, hasil eksploitasi tambang itu diperkirakan telah mencapai Rp2 triliun. “Namun, sangat jelas terlihat hasilnya tidak dinikmati oleh orang di sana. Mereka hanya menjadi penonton,” tambah Nur Alam. Karena itu menurut gubernur, dari pada dikelola oleh pengusaha tertentu yang tidak memberikan kontribusi terhadap daerah, sebaiknya pemerintah pusat turun tangan untuk mengelola tambang emas di daerah itu.
Gubernur menegaskan, kiranya masyarakat tidak salah tangkap dengan maksud dia menyerahkan pengelolaan tambang emas di Bombana ke pemerintah pusat. “Jika itu dikelola oleh pemerintah pusat, akan lebih terkoordinasi dan pendapatan negara bisa lebih dioptimalkan,” tegasnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap kawasan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara (Konut). Gubernur mengakui telah memerintahkan agar perusahaan-perusahaan pemilik kuasa pertambangan (KP) yang bermasalah di daerah itu segera “diputihkan.”
“Maksudnya, perusahaan pemilik KP yang bermasalah, dicabut kembali izin dan kemudian dikaji pelanggaran-pelanggarannya. Karena dari laporan yang masuk, lokasi izin KP sudah lebih luas ketimbang lahan tambang yang ada di sana,” kata gubernur.
Label: dan Kontributor Palu, Laporan Sulfaedar Pay Diposkan oleh Regional_Timur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar