Media Akhairaat
Rabu, 22 Oktober 2008
Palu-Selasa (21/10) kemarin suhu kota Palu seakan mengamini lirik lagu Ebit G Ade “Mungkin Alam Mulai Bosan.” Panas matahari menembus setiap ruang-ruang yang ada di bumi, termasuk ruang Aula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu.
Pada saat yang sama, di tempat itu sedang diadakan Seminar dan Konsultasi Publik “Agama dan Kearifan ekologi”. Dan seakan mengamini lagi lirik lagu Ebit G Ade, “Mungkin Tuhan Mulai bosan”, seminar ini bertajuk “Membangun Teologi dan Fiqh Ekologi di era otonomi.”
Dalam seminar ini Kepala Badan Pengawas Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulawesi Tengah, Solmi menatakan, kerusakan lingkungan pada saat ini diakibatkan tidak terkoordinasi dengan baiknya antara kabupaten dan kota.
“Tak ada koordinasi ini karena tak adanya kesadaran dari masyarakat tentang lingkungan, dan juga kurangnya kepedulian dari pimpinan di daerah tersebut,” sebut Solmi.
Rektor Universitas Alkhairaat, Lukman S Taher memberikan pandangan teologis-nya, bahwa Tuhan pun Tidak Tidur. Lukman mengatakan, tidak ada yang lepas dari pengawasan dan Mata Tuhan.
Ia mengilustrasikan, beberapa kisah sebagai contoh “mata-mata Tuhan” yang ada di bumi. Di antaranya, kisah Tukiyem dan Gareng, yang tegar dalam menghadapi tantangan dan rintangan dalam menjaga lingkungan.
Tukiyem dan Gereng, 56 tahun, sepasang suami istri yang tinggal di daerah kumuh Manggarai, tiba-tiba saja mereka menjadi selebriti dan terkenal karena telah menyelamatkan dua orang bocah “anak gedongan” yang keracunan bahan kimia dari sebuah produk makanan anak-anak.
“RS Cipto Mangunkusoma menjadi saksi perjuangan mereka, sebab kalu sedikit terlambat, kata dokter, maut menjempu mereka,” cerita Lukman S Taher.
Ia mengajak peserta seminar, untuk menjadi mata-mata Tuhan di bumi. Harus peka terhadap lingkungan dan tak terjebak dengan tampilan, yang terpenting slematkan bumi dari ancaman kepunahan dan kematian.
Sementara itu, Angota Pusat penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam (PP-BMBA) Lembaga Penelitian Universitas Tadulak, Abdullah MT memaparkan degradasi lingkungan di sulteng. Abdullah menjelaskan terjadinya bencana yag diakibatkan, tsunami, abrasi, penambangan karang, permasalahan huan mangrove, sedimentasi (pendangkalan), tambang galian C dan banjir.
“Terjadinya penambangan karang, karena masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, penduduk kota Palu di sekitar pantai Talise, Tondo dan Pantoloan melakukan pengambilan karang di laut. Padahal, pengambilan Batu Karang ini akan merusak kehidupan biota laut dan membahayakan penduduk di sekitar pantai,” kata Abdullah.
Dalam pandangan Fiqhi, Dosen STAIN Datukaramah, Rusli, menjelaskan, tawaran Fiqh dan Tindakan afirmatif. Ia mengatakan, menghidupkan tanah mati atau tidak produktif, serta lahan konservasi atau cagae alam adalah keharusan.
Ia mencontohkan soal kata Hima. Dalam literature Fiqh, katanya, Hima mengandung pengertian, lahan terlarang bagi orang lain. Dasarnya adalah hadis Nabi, semua Hima (lahan konsrevasi) hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.
Maksudnya, kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki oleh siapapun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan pengembalaan hewan ternak.
“Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya,” katanya.
Ia juga mengatakan, kepedulian terhadap lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yai tu lingkungan rumah. Dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon untuk penghijauan.
“Rasulullah Saw pernah mengatakan, seandainya hari ini adalah saat datangnya kiamat, dan ditanganku ada benih yang akan di tanam, maka saya akan menanam benih itu. Jadi Rasul menjarkan kepedulian terhadap alam kepada kita,” kata Rusli
Pada sesi pertanyaan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Wilianita Seilviana mengatakan, pembicaraan tentang lingkungan bukanlah cerita indah atau dongeng yang membuai. Tapi, menceritakannya ibarat mengisahkan cerita horor . “olehnya, cerita horor ini bukan nanti dirasakan ke depan, tetapi dirasakan sejak dari kemarin,” katanya.
Ia mengungkapkan, kekecewaannya terhadap pemerintah atas terjadinya beberapa kerusakan ekologi yang terjadi di sulteng. “Saya menyayangkan, pernyataan Gubernur Sulteng saat terjadi banjir bandang di Morowali. Saat itu gubernur mengatakan bahwa banjir itu bukan karena penggundulan hutan, tapi karena curah hujan yang tinggi,” sesal Wilianita.
Olehnya , ia mengharap seminar itu bukan hanya menjadi perbincangan horor, tapi bisa menjadi acuan pemerntah dalam mengatasi masalah ekologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar