Rabu, 02 September 2009

Tambang Emas Poboya Untuk Rakyat

Tambang Emas Poboya Untuk Rakyat

Media Alkhairat,Kamis, 03 September 2009

Data-data diatas menunjukkan kepada kita bahwa pertambangan telah menjadi satu bentuk usaha yang sangat tua, dikelola secara mandiri dengan alat-alat sederhana dan diselenggarakan oleh komunitas-komunitas masyarakat mandiri dan telah berkembang jauh sebelum republik ini ada dan Poboya adalah mata rantai dalam perjalanan sejarah Pertambangan Rakyat di Indonesia.

Legal Formal

Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada, UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, selanjutnya diubah menjadi UU no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara.
Dalam UU Minerba pasal 33, pengusahaan pertambangan yang sebelumnya menggunakan rezim kontrak dan perjanjian selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP).
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil.
Sementara Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. Dalam sektor migas, badan tersebut bersifat seperti BP Migas
Dalam UU no 4 tahun 2009 tentang MINERBA di kenal yang namanya IPR (Izin Pertambangan Rakyat) yang dapat diberikan kepada perorangan maksimal 1 Ha, Koperasi atau kelompok masyarakat 5 Ha. Dimana perizinan cukup dikeluarkan oleh Walikota atau Bupati, dengan cakupan luas wilayah maksimal 25 Ha.
Oleh karena itu Walikota diharapkan proaktif melakukan penataan dan dapat mengeluarkan IPR bagi masyarakat yang melakukan penambangan di Poboya.

Sosial

Mengapa perlu adanya tambang rakyat, melihat kondisi sosial ekonomi di Palu sangat sulit masyarakat mendapatkan lapangan pekerjaan, oleh karena itu kehadiran Tambang Rakyat Poboya menjadi alternatif percepatan ekonomi masyarakat Palu yang masih dalam garis kemiskinan, yang nota bene tanpa perlu mengemis menunggu datangnya investor yang takkan kunjung tiba.
Pemda seyogianya melihat investasi tidak hanya menggunakan kacamata konglomerat dan menganggap apa yang dilakukan rakyat sekarang di Poboya bukan bentuk investasi.
Marilah kita coba mengambil contoh Penambanga Freefort, setiap hari Freeport menghasilkan ± 50.000 ton tanah yang mengadung berbagai
bijih mineral, setiap 1000 ton tanah mampu memberi hasil 1,5 ton emas murni, berarti sehari
freeport menghasilkan 75 ton emas.
emas 1 gram, anggaplah rp 200.000, ini berarti nilai emas yang ditambang oleh freeport sehari adalah rp. 15.000.000.000.000 atau rp 15 trilyun atau sama dengan 5400 trilyun dalam setiap tahunnya, sementara Preefort sudah 50 tahun mengelolah tambang di Papua
Emas adalah hasil tambang sampingan dari tambang tembaga di Freeport dan segala hasil tambang sampingan dibawa keseluruhan ke amerika.
bagaimana dengan nilai tambang tembaganya dan hasil tambang sampingan
lainnya. Sementara Fakta menunjukkan freeport tidak membayar pajak penambangan dan Rakyat Papua tidak dapat keluar dari kemiskinan, sekarang rakyat papua ibarat anak ayam mati dilumbung padi. Nah.. apakah Pemda sulteng ingin mengulangi kasus Freefort.

Lingkungan

Sangat naïf dan tidak berkeadilan jika Pemda menutup Tambang rakyat di Poboya dan memberikan kepada Investor untuk mengelolahnya, hanya dengan satu alasan yakni kerusakan lingkungan, jika pemda memiliki komitmen pro terhadap Rakyat, semestinya membuat program Penambangan Rakyat yang ramah lingkungan secara sistimatis dan terencana serta melibatkan para ilmuwan lingkungan dari kalangan Profesional. Karena tidak ada Pekerjaan yang tidak memiliki Resiko.
Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang rakyat di Poboya, meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat muncul menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi pembinaan terhadap mereka.
Jika Pemda memiliki keseriusan pembinaan terhadap pertambangan rakyat ada di Poboya dan orientasi pengembangan pertambangan membuka kesempatan yang luas dan setara terhadap penambangan rakyat, maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Bolivia dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki kualitas lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup Terpadu Pada Usaha Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh Dirjen Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan beberapa metode dalam pengolahan emas dalam pengurangan emisi mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5 ton per tahun .
Di samping itu Bolivia, Negara yang terletak di benua Amerika bagian Selatan itu berhasil mengubah kontrak pertambangan yang awalnya pro kepentingan korporasi asing menjadi pro rakyat.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran Presiden Bolivia Evo Morales yang tidak lama setelah terpilih langsung mengeluarkan dekrit yang isinya mengultimatum memaksa perusahaan tambang yang beroperasi disana untuk menegosiasikan ulang kontrak pertambangan mereka. “Kalau Bolivia bisa, saya yakin Palu juga bisa.

Solusi
Alternatif solusi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah diantaranya :

1.Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan) yang semata berparadigma ekonomi neo liberal ke ekonomi kerakyatan, Apa yang terjadi di Poboya sebenarnya telah menjawab paradigma yang yang dikampanyekan Negara kaya, bahwa penambangan memerlukan teknologi tinggi, sehingga orang Indonesia belum tersedia SDM untuk itu, maka perlu melakukan transfer teknologi dengan memberikan izin pertambangan kepada Negara kaya seperti inggris, Kanada dan Amerika.

Artinya disinilah pentingnya Pemda memberikan alat produksi kepada rakyat, bukan kepada pihak asing atau investor dari luar, segala keperluan yang dibutuhkan penambang mulai Izin sampai produksi dan pemasaran serta pengelolaan lingkungannya, perlu di mediasi oleh Pemerintah daerah.

2.Pengakuan normatif terhadap rakyat dan pemilikan masyarakat adat atas sumberdaya alam yang tersebar dalam membuat peraturan dan kebijakan yang berkearifanlokal.

3.Perlu Pemda membuat IPR (Izin Penamabangan rakyat), sebagai payung hukum untuk melakukan penambangan, untuk ini pemda kota Palu perlu studi banding ke pemda Bolaan Mongondow yang telah berpengalaman melakukan pembinaan terhadap penambangan rakyat.

Penambangan rakyat di Poboya harus terus berjalan, seiring dengan berjalannya kehidupan, dan tidak ada pekerjaan tidak memiliki persoalan termasuk penamabanga rakyat, olehnya disinilah tugas kita bersama menyelesaikan masalah kecil ini berupa kerusakan lingkungan dan gejolak sosial demi menyelesaikan masalah yang lebih besar yaitu kemiskinan massal, karena hanya orang berjiwa kerdil yang takut menghadapi masalah sebelum berbuat.

Dan akhirnya…

“…siapa yang menguasai alat produksi maka dialah yang menguasai ekonomi..”

Untuk Rakyat Poboya dan sekitarnya jangan berhenti mengayunkan palu dan linggismu guna membongkar bongkahan batu dari tanah tandus Poboya, karena semakin komiu mengayun palumu dan semakin cepat berputar tromolmu, maka semakin kesejahteraan melambaikan tangannya laksana lambaian bidadari dari sorga yang menyambutmu dan disanalah komiu akan melihat senyuman Tuhan dari segala Tuhan dalam singgasana keabadiannya.

Ambil perkakas apapun yang tersisa di rumahmu dan perlihatkan bahwa komiu juga memilki alat produksi, dan kuasailah negeri poboya dari tanah leluhurmu sendiri sebelum bangsa Eropa dan Amerika merampasnya dengan kedok Investasi dan Kontrak Karya.

Wassalam Berjuang terus demi kehidupan yang diberikan Tuhan dalam keabadiannya.***

Tidak ada komentar: