Senin, 12 Oktober 2009

Perusahaan Tambang, Tambang Rakyat, Atau Ditertibkan

Perusahaan Tambang, Tambang Rakyat, Atau Ditertibkan

*Eksploitasi Poboya (Bag. 1)
PUBLIK Palu tengah diresahkan adanya pertambangan rakyat di Kelurahan Poboya, karena dikhawatirkan merusak lingkungan, dan kesehatan. Di lain pihak, beredar rumor bahwa tambang emas yang diolah perusahaan tambang lebih ramah lingkungan dibanding tambang rakyat.
Sehingga publik seolah-olah diperhadapkan pada tiga pilihan, yakni melanjutkan tambang rakyat atau menerima perusahaan tambang. Atau sekaligus tidak menerima kehadiran ketiga teknis penambangan ini.
Olehnya, dengan sedikit membuka wawasan kita, redaksi Mercusuar mencoba mengekspos pengalaman pertambangan yang diolah perusahaan dan rakyat di daerah lain yang diakses dari www.google.co.id.

PERUSAHAAN TAMBANG
Tambang emasnya yang diolah perusahaan tambang berskala besar, seperti PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Sulawesi Utara (Sulut), dan PT Kelian Equtorial Mining (KEM) di Kalimantan Timur (Kaltim) sempat mengemuka beberapa tahun. Sehingga penting dijadikan referensi sebelum kita menentukan sikap untuk teknis pengolaan tambang Poboya.
PT NMR merupakan perusahaan yang sahamnya 80 persen milik Newmont Mining Corporation (NMC) dan sisanya 20 persen dipegang perusahaan Indonesia, PT Tanjung Serapung. Kawasan perusahaan ini berada dibagian tenggara atau 65 mil dari Manado.
Minahasa berketinggian 850 kaki dari permukaan laut dan penggunaan lahan untuk pertanian dan juga tanaman keras seperti Cengkeh dan kelapa. Desa terdekat Ratatotok dan Buyat merupakan pensuply tenaga kerja permanen terbanyak, 685 orang.
Newmont menemukan badan kandungan mineral pada 1988. Produksi dimulai pada Maret 1996. Bijih emas di kapalkan oleh sebuah perusahaan pemerintah, yaitu PT Logam Mulia, penyulingan dilakukan di Jakarta dan dijual kebanyakan di Pasar Asia.
NMR menggunakan Submarine tailings disposal system (sistem pembuangan sisa limbah bawah laut) yang pertama di Indonesia dengan kedalaman pipa 82 meter. Pada tahun 1998 produksinya adalah 261 000 ons dengan total harga US $127 per ons. Cadangan kandungan di Minahasa pada 31 desember 1998 adalah 1.3 juta Ons (setara dengan 1,1 juta ons).
Pada surat tertanggal 25 November 1999 kepada Presiden Republik Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAMNAS) me meminta menghentikan sementara (moratorium) kegiatan NMR sampai perusahaan tersebut memperbaiki sistem produksinya sampai ke tingkat pembuangan emisi nol dan untuk melaporkannya pada publik. Pernyataan ini disampaikan terkait pembuangan sisa limbah ke bawah laut dalam jumlah besar, sehingga dikhawatirkan dampak yang diakibatkannya lebih besar lagi.
Selain itu, penelitian menunjukkan terjadi kehilangan areal penangkapan ikan masyarakat akibat adanya pencemaran logam berat yang melebihi ambang batas (merkuri, arsen dan sianida). Seperti yang bisa ditunjukkan oleh hasil penelitian Tim Independen (Prof Dr Rizald Rompas MSc, dkk) yang tidak dipublikasikan oleh Pemda Sulut maupun PT NMR, serta hasil penelitian Pusat Studi Lingkungan (PSL) UNSRAT Manado.
Data Bathymetri (kontur dasar laut) hasil penelitian PSL-UNSRAT Manado (1999) dan hasil Pemetaan Partisipatif (Community mapping) yang dilakukan Warga Buyat Pantai bersama WALHI (15-30 Juni 2000) menemukan bahwa pada mulut pipa pembuangan, kedalaman 70- 80 meter telah terbentuk bidang yang luas dengan radius 550-750 meter.
Tim riset UNSRAT yang didukung BAPEDAL Pusat menemukan bahwa perubahan bentang lahan perairan Teluk Buyat adalah akibat proses pendangkalan lumpur yang keluar dari mulut pipa pembuangan limbah tailing PT NMR. Hasil penelitian ini menunjukkan sebuah Trend pendangkalan diwilayah mulut pipa yaitu 82 meter pada tahun 1997 (Dokumen ANDAL PT.NMR) berkurang menjadi 70 meter pada tahun 1999 (hasil riset PSL UNSRAT) dan pada Juni 2000, Tim riset WALHI menemukan angka kedalaman 60-70 meter.
Selanjutnya di lokasi PT KEM di bagian pedalaman Kaltim pada tahun 1997 ditemukan lebih dari 500 kg kandungan sianida dalam limbah air tambang. Walaupun jumlah ini sudah berkurang hampir setengah dari buangan sianida pada tahun sebelumnya, namun tingkat pencemaran sianida di Kelian tetap terburuk dibandingkan tambang emas tembaga milik Rio Tinto lainnya di seluruh penjuru dunia.
Bahan sianida digunakan untuk menyaring emas dari bijinya. Secara tidak langsung Rio Tinto menyatakan bahwa tingkat sianida yang tinggi bukan merupakan masalah karena 'sisa sianida yang bebas akan terurai secara cepat di bawah paparan sinar matahari dan tidak bertahan lama dalam lingkungan'.
Tambang Kelian juga membuang sejumlah besar 'zat padat yang tak tersaring' ke dalam sungai Kelian. Partikel halus yang berasal dari tanah dan batu ini terkumpul selama proses pengolahan biji emas dan dari air permukaan yang mengering di lokasi pertambangan. Dengan jumlah total 1.600 ton, - jumlah residu padat dalam air buangan PT KEM. Angka ini menempati peringkat tertinggi kedua dalam kegiatan penambangan Rio Tinto di seluruh dunia.
Pada tahun 1996, tingkat residu padat bahkan lebih tinggi dari 4.700 ton ketika PT KEM mengalihkan aliran sungai Kelian. Meskipun demikian, Rio Tinto tetap menyalahkan tingginya kekeruhan air sungai pada operasi pendulangan rakyat berskala kecil.
PT KEM menggunakan lebih dari 6 juta meter kubik air bersih dari sungai Kelian untuk operasi tambang mereka. Hanya 4 juta meter kubik yang didaur ulang dalam tambang tersebut. Limbah air yang mengandung ion logam tingkat tinggi seperti mangan, sianida dan berlumpur dibuang begitu saja ke dalam sungai Kelian.
Dalam laporan tahun 1997, Rio Tinto banyak menyebutkan tentang bantuan kemanusiaan bagi penduduk yang terkena musibah kekeringan tahun lalu dan kebakaran hutan tahun ini di kawasan sekitar tambang. Kedutaan Australia, Kanada, Inggris dan New Zealand, termasuk dan Care International juga memberi sumbangan jangka panjang dibidang kesehatan dan pendidikan.
Namun demikian, laporan itu tidak dapat menutupi kenyataan bahwa pertambangan tersebut telah merebut hak masyarakat adat atas tanah mereka, merusak kawasan hutan dan mencemarkan lingkungan. Para ahli lingkungan Indonesia khawatir bahwa ketika tambang ditutup, Rio Tinto hanya akan meninggalkan lingkungan yang rusak dimana PT KEM sendiri mengakui tidak dapat merehabilitasinya kembali.
Selain itu, pencemaran ini akan menjadi seperti 'bom waktu' yang berangsur-angsur akan meracuni penduduk setempat ketika logam buangan dari pertambangan merembes ke pasokan air minum. ****

Sumber : http://www.harianmercusuar.com/?vwdtl=ya&pid=1683&kid=all
Selasa, 13 Oktober 2009

Minggu, 11 Oktober 2009

Penambang Emas Poboya Di-Deadline 10 Hari

Penambang Emas Poboya Di-Deadline 10 Hari

Terhitung mulai 9 Oktober Penambang emas Poboya dideadline (Diberikan waktu) selama 10 hari untuk segera menghentikan aktivitas pertambangan.FOTO:DOK/MS

PALU, MERCUSUAR - Penambang emas Poboya dideadline (Diberikan waktu) selama 10 hari, terhitung mulai 9 Oktober untuk segera menghentikan aktivitas pertambangan. Begitupula dengan pengusaha tromol di daerah pertambangan itu. Konsekuensinya, jika dalam 10 hari, imbauan ini tidak dihiraukan, Polda Sulteng akan melakukan tindakan tegas.
Tindakan tegas yang dimaksud berupa penangkapan, dan pengamanan alat bukti lainnya seperti tromol dan material tambang lainnya. Tindakan tegas ini juga berlaku bagi anggota Polri dan TNI yang turut melakukan aktivitas penambangan setelah deadline.
“Siapapun yang masih menambang akan segera ditangkap. Untuk anggota Polri kami serahkan ke provost, sedangkan TNI diserahkan ke kesatuannya masing-masing,” kata Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP Irfaizal Nasutiona usai Salat Jum’at (9/10).
Dalam waktu 10 hari kata Irfaizal, penambang emas diberikan kesempatan untuk mengangkut seluruh hasil tambangnya, dan tidak diberikan lagi kesempatan untuk menggali atau mengambil material di lubang. Namun masih diberi kesempatan untuk mengola batu emasnya di tromol, sehingga ketika tambang ditutup sementara, penambang masih memiliki dana untuk menghidupi keluarganya.
Begitupula dengan pemilik tromol. Dalam waktu 10 hari ke depan, harus mengangkut seluruh peralatan penggilingan batu emas itu. Jika ditemukan masih ada tromol yang beroperasi, maka dilakukan penahanan terhadap pemiliknya sekaligus menyita seluruh asset pemilik tromol itu.
“Kami telah memberikan imbauan itu kepada penambang dan pemilik tromol di Poboya, didampingi Ketua Adat Poboya meminta penambang dan pemilik tromol diharapkan untuk mematuhi imbauan itu,” ujar perwira dua melati itu.
Selain itu, Kabid Humas menyebutkan hasil pertemuan antara Desk Pertambangan Poboya dengan Polda Sulteng. Dimana Pemkot akan menyiapkan lahan khusus untuk pemilik tromol. Hal itu dimaksudkan agar bahan berbahaya seperti air raksa, tidak mencemari lingkungan.
“Bila kondisi di tambang emas Poboya seperti ini terus, dikuatirkan kerusakan lingkungannya akan sangat parah. Bukan itu saja, dalam 10 hingga 25 tahun ke depan, anak cucu kita akan mengalami gangguan kesehatan, karena pengaruh air raksa. Inilah yang coba kami tertibkan, agar pertambangan Poboya tidak merugikan,” tutur Irfaisal.
Dikatakannya, saat ini, kondisi air sungai di Kelurahan Poboya cukup berbahaya, karena kandungan zat kimianya melebihi ambang batas. Jika terus-terusan seperti ini, maka generasi masyarakat Poboya tidak akan berkembang.
“Jabatan Kapolda mungkin tidak akan lama. Paling-paling satu hingga tiga tahun. Jika saya menjabat, dan membiarkan kondisi ini, maka saya akan berdosa, jika dalam waktu 10 tahun mendatang, anak-anak di Kelurahan Poboya sudah tidak sehat dan menderita cacat,” ujarnya mengutip pernyataan Kapolda Sulteng, Brigjend Pol Suparni Parto.
Untuk itu, lanjut Irfaisal, hal ini tidak bisa dibiarkan. Jika dalam 10 hari, penambang emas dan pemilik tromol membangkang, maka Polda Sulteng akan melakukan penertiban, walaupun tanpa berkoordinasi dengan Pemda Sulteng.
Setelah penambang dan pemilik tromol menghentikan sementara aktivitas penambangan, pemerintah Sulteng akan mengeluarkan kebijakan. Yang pasti kebijakan yang akan dikeluarkan tidak akan merugikan siapapun, baik masyarakat, pemilik tromol maupun pemda.
“Yang jelas, lokasi tromol akan disatukan, di daerah yang jauh dari pemukiman dan sungai. Pemerintah juga akan mengundang konsultan pertambangan, sehingga bisa diterapkan sistem pengelolaan emas yang ramah lingkungan dan tidak membahayakan generasi mendatang,” jelasnya.
Demikian pula bagi Tim Desk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng dideadline tiga hari untuk membahas soal konsep pengelolaan tambang emas di Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur.
Selama tiga hari, tim desk terus berupaya merumuskan konsep pengelolaannya untuk dipresentasekan kepada Gubernur HB Paliudju. “Memang pak gubernur yang perintahkan dibahas selama tiga hari. Sejak kamis kemarin (8/10) kan sudah mulai kami bahas,” kata Ketua Tim Desk Baharuddin HT, Jumat (9/10).
Dijelaskan Baharuddin setelah pembahasannya selesai. Tim desk akan mempresentasekannya konsep/format pengelolaannya di hadapan Gubernur HB Paliudju. “Apa tanggapan pak gubernur, apa masih ada yang kurang atau masih ada tambahan,” jelasnya.
Pantauan media, hingga kemarin (9/10) Tim Desk masih menindaklanjuti pembahasan sebelumnya di ruang kerja Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulteng. Tapi kali ini di ruangan kerja Karo Hukum dan Perundang-Undangan Pemprov Sulteng Kasman Lassa SH.
Karena pada pembahasan itu, lebih dispesifikan pada kajian atau pandangan hukum. Hal itu dimaksudkan agar dalam pengelolaan tetap mengacu pada aturan yang berlaku. Sesuai rencana tim desk akan melanjutkan pembahasan itu pada hari Senin (12/10).
Sekadar diketahui, pada pembahasan sebelumnya ada tiga opsi yang ditawarkan. Diantaranya, pemerintah harus melokalisir wilayah tambang poboya dan tidak ada penambahan penambang dari luar daerah, kemudian opsi selanjutnya pemerintah harus memoratorium (penghentian sementara waktu) sambil menunggu keluarnya regulasi dan terakhir adalah penghentian total aktivitas pertambangan.
Tiga opsi itu kemudian masih terus dikaji oleh tim desk dari segala bidang baik itu dampak positif maupun negatifnya. KUS/URY


Sumber : http://www.harianmercusuar.com/?vwdtl=ya&pid=1673&kid=all
Senin, 12 Oktober 2009

Kamis, 08 Oktober 2009

PT. Bintang Delapan Gandeng China Bangun Pabrik FeNi Di Sulawesi 07 Oktober 2009 | 23:31 WIB

PT. Bintang Delapan Gandeng China Bangun Pabrik FeNi Di Sulawesi
07 Oktober 2009 | 23:31 WIB
Egenius Soda
egen@majalahtambang.com

Jakarta-TAMBANG. Ditengah makin gencarnya kampanye nilai tambah, satu lagi industri pengolahan nikel menjadi ferronikel hadir di Indonesia tahun depan. Hal ini terjadi setelah PT. Bintang Delapan Group menandatangani kesepakatan dengan salah satu raksasa tambang asal China, Dingxin Group. Perusahaan asal China ini menyatakan telah menyiapkan dana investasi kurang lebih US$ 1 miliar untuk membangun pengolahan nikel di Sulawesi tersebut.

Menurut Halim Mina, Presiden Direktur PT Bintang Delapan Group, pihaknya telah menandatangani Joint Venture dengan Dingxin Group di Jakarta, Rabu (7/10). Dingxin sendiri masuk melalui joint venture dengan PT Bintang Delapan Group, selaku pemegang Kuasa Pertambangan Nikel, Morowali, Sulawesi Tengah. "Dingxin telah merencanakan inventasi US$ 1 miliar," Ungkap Halim.

Di sini perusahaan China tersebut akan menguasai saham mayoritas yakni sebesar 55% pada Industri smelter tersebut. Dan direncanakan pembangunan pabrik ini membutuhkan waktu selama 5 tahun.

Tambang nikel Morowali yang sampai saat ini masih kesandung masalah tumpang tindih lahan dengan PT. Rio Tinto. Akan tetapi menurut Halim, pihaknya telah mengantongi ijin dan tengah memasuki tahap eksplorasi. Diharapkan tahun depan sudah bisa menghasilkan nikel ore sebesar 30.000 ton. Sementara untuk pasarnya, sejauh ini masih untuk ekspor dengan tujuan ke China.


Sumber : http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=2010
Tanggal : 07 Oktober 2009

Akibat Tambang Air PDAM Sering Macet

Akibat Tambang Air PDAM Sering Macet
Zain Mardan
PALU, MERCUSUAR - Keluhan pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Palu, dengan tidak lagi mengalir air PDAM di rumah warga sepekan terakhir, ternyata disebabkan faktor alamiah (debit air turun) dan kerusakan instalasi PDAM akibat aktivitas penambangan emas.

Hal itu dikatakan Kepala PDAM Palu, Zain Mardan SE di ruang kerjanya, Selasa (6/10). Menurutnya, kedua faktor itulah yang menjadi penghambat pelayanan perusahaan yang dinakhodainya itu kepada para pelanggan PDAM Palu.

“Sumber air PDAM Palu yang utama, ada tiga yakni, di Kawatuna, Poboya dan Vatutela. Setelah diperiksa, masalah macetnya air ini, karena pengaruh aktivitas tambang di Poboya yang merusak instalasi pipa, dan pengaruh kemarau panjang (Elnino) yang membuat debit air di Vatutela tinggal 20 persen dari pekan sebelumnya,” kata Zain.

Dia menambahkan, selain terjadi kerusakan pipa yang sudah tiga kali ditemukan di Poboya, macetnya air PDAM Palu diduga disebabkan adanya penyadapan dari aktivitas alat tromol yang menggunakan air. Pasalnya, debit air yang sampai ke pelanggan sangat berbeda dengan debit dari bak penampungan yang ada di Poboya.

“Perbaikan instalasi pipa di Poboya, hanya dilakukan untuk emergency saja. Karena perbaikan secara permanen membutuhkan biaya yang sangat besar, dan PDAM belum memiliki anggaran untuk itu,” terangnya.
Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah untuk menghimbau kepada penambang agar tidak merusak fasilitas umum apalagi air PDAM merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat umum.

“Kami juga mengharapkan bantuan pemerintah guna memperbaiki secara permanen jaringan pipa yang hanya diperbaiki seadanya karena kami tidak memiliki anggaran yang cukup untuk itu,” harapnya. STY

Sumber: http://www.harianmercusuar.com/?vwdtl=ya&pid=1602&kid=all
Tanggal: Kamis, 8 Oktober 2009