Jumat, 30 Januari 2009

FKKD Protes Kapolda Sulawesi Tengah

FKKD Protes Kapolda Sulawesi Tengah

AMPANA-Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Se Tojo Barat melayangkan surat protes ke Kapolda Sulteng. Dalam surat tertanggal 23 januari 2009 ditegaskan, tuduhan Polisi terhadap Kades Malewa, Normal Vungko, tidak memeneuhi unsur pelanggaran hukum.

Terbukti dilapangan kayu yang ditebang Kades berada dikebun milik M. lawengi. Kepimilikannya dibuktikan dengan pembayaran pajak bumi dan bangunan. Status tersangka melakukan ilegal logging yang diatur dalam pasal 78 Ayat 5 jo Pasal 50 Ayat huruf e dan f UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, sebagaimana tercantum dalam surat panggilan Polisi tidak tepat disandang Kades Malewa. Sebelumnya FKKD juga menyampaikan hal ini saat hearing bersama di DPRD Tojo Una-una.

FKKD juga menilai penangkapan dan penahanan Kepala Desa Malewa bertentangan dengan PP Nomor 72 tahun 2005 Tentang Desa. Pada Pasal 23 Ayat 1 disebutkan ,” Tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota “. Penangkapan Kades Malewa tanpa persetujuan Bupati merupakan pelecehan terhadap institusi Pemerintah ‘’ kata Ketua FKKD, Darwis Teigi, pada media ini, Jumat. Dalam suratnya, FKKD juga melampirkan surat Menteri Kehutanan No. 35 /MENHUT-VI/2007. Surat itu menegaskan pengenaan sanksi sebagaimana ditetapkan pada pasal 78 UU 41 tahun 1999 dalam rangka pengamanan hak-hak negara yang berasal dari hutan negara.

Sehingga pengenaan sanksi tidak tepat diterapkan terhadap pelanggaran pengangkutan kayu rakyat yang merupakan asset perseorangan. Kembali pada status tanah M. Laweangi (59) yang juga ketua BPD Desa Malewa, mengaku kayu yang ditebang oleh Kades Malewa, mengaku kayu yang ditebang oleh Kades Malewa berada di tanah miliknya bukan di areal hutan. “ saya sudah membayar pajak atas tanah itu sejak tahun 1947 ‘’ kata Mulia.

Tanah perkebunan seluas 1,7 ha sejak dulu ditanami cengkeh,mangga, dan kelapa. M. Laweangi juga mengaku dipanggil Polisi dimintai keterangan sabagai saksi. Salah anggota tim pengacara Kades, Azriadi Bachri SH, mengatakan Kades Malewa bebas demi hukum karena apa yang dilakukan kades tidak memenuhi unsur dalam UU No. 41 yang dituduhkan kepolisian. Penangkapan Kades cacat hukum karena itu harus batal demi hukum. Ia juga menyarankan agar kepolisian belajar pada pihak kehutanan soal status hutan, agar dapat membedakan secara jelas mana ilegal logging mana yang tidak.

Sebelumnya Polres Tojo Unauna juga memanggil Eliyasar Posiri dan Noldi Ketupayan. Keduanya dipanggil sebagai tersangka karena ikut menebang pohon dikebun milik M. Laweangi. Tapi Eliyasar dan Noldi tidak ditahan.( Badri)

Tolak Sutet , Warga Datangi DPRD

Media Alkhairat. 30 januari 2009

Tolak Sutet , Warga Datangi DPRD
POSO- Sekitar 50 warga Desa Peura, Kecamatan Pamona Selatan, kabupaten Poso, Kamis (29/1) mendatangi kantor DPRD Poso. Mereka mendesak DPRD segera memanggil pihak yang berkaitan dengan pembangunan tower transmisi saluran untuk Tegangan Tinggi atau Sutet milik PT.PLTA .
Poso Energi yang merupakan grup perusahaan Bukaka milik Wakil Presiden Yussuf Kalla. Desakan warga terkait penolakan pembangunan dua unit tower, yakni tower 51 dan 52 yang akan di bangun ditengah pemukiman Penduduk di Desa Peura. Kedatangan warga secara tiba-tiba itu didampingi sejumlah LSM di Sulawesi Tengah seperti PRKP. LPS HAM, Serikat Tani Pamona dan YPAL. Setelah hampir 30 menit menunggu di beranda gedung DPRD Saweragading Pelima dan sejumlah anggota dewan lainnya di ruang paripurna.
Ditangah pertemuan tersebut., perwakilan para warga menyatakan aspirasinya meminta DPRD memanggil pihak yang berhubungan dengan pembangunan sutet Pemda Poso serta Aparat Keamanan. Pertemuan tersebut dirasa warga sangat mendesak karena sejak pertama kali rencana pembangunan tower Sutet pada tahun 2006, maka sejak itulah terjadi kesenjangan soial antara masyarakat setempat baik yang pro maupun yang kontra. Masyarakat khawatir akan terjadi pertumpahan darah bila ketegangan ini dibiarkan berlarut – larut.
,, kami sangat merasakan, sejak rencana pembangunan tower oleh Bukaka, telah terjadi kesenjangan sosial antar masyarakat dan antar keluarga, karena dilain sisi warga menolak. Sementara perangkat desa mendukung, jadi warga disana sudah terpecah ,” ujar Ibu Berty.
Pada dasarnya, warga tidak menolak pembangunan PLTA. Namun, warga hanya menginginkan pembangunan dua unit tower yang ada ditengah pemukiman penduduk Desa Peura segera dipindahkan menyangkut jaringan Sutet yang berada ditengah pemukiman dapat mempengaruhi kondisi kesehatan warga setempat. Apalagi, salah satu tower yang akan dibangun hanya sekitar 20 meter dari bibir danau POSO yang sering meluap.
Menurut Peturona dari Serikat Tani Pamona, keinginan warga Peura hanya satu, yaitu, pindahkan tower dari desa mereka ! ‘’ bila pemilik perusahaan tetap bertahan untuk membangun tower di Desa Peura, maka jangan salahkan bila aksi solidaritas untuk peura akan meluas yang datang dari seluruh penjuru Pamona ,” ujar peturona .

Salah satu desa yang telah resmi menyatakan dukungan untuk Peura adalah Desa Kelei yang berada dibagian selatan Pamona Timur yang mengikutkan perwakilannya menemui DPRD. Warga mendesak, masalah ini ditanggapi dengan waktu yang secepat-cepatnya.” Kami meminta DPRD menyelesaikan masalah ini dengan secepat-cepatnya, sebelum masyarakat mengambil tindakan dengan cara-caranya sendiri,” ujar Karel, perwakilan warga Desa Peura.
Anggota DPRD, Albert Bisalemba mengaku DPRD tidak akan diam melihat penderitaan warga dan akan perjuangan bersama menolak pmbangunan Sutet ditengah Desa Peura .” setelah kami mendengar seluruh keluhan warga, kami sebagai anggota DPRD tidak akan diam melihat masyarakat yang terus diintimidasi baik ileh perusahaan maupun polisi terkait rencana pembangunan tower ini ,” ujar Albert. Sementara itu ketua DPRD S.Pelima menyatakan akan segera memanggil pihak terkait diantaranya, pihak perusahaan, Pemda Poso, Kecamatan, kepolisian setempat (Polsek), Dinas Kesehatan Poso.” Kami jadwakan, besok (Jumat) tim Pembangunan tower tersebut dari hari Senin (2/2) kami akan undang pihak-pihak tersebut,’’ kata Pelima. (bandy)

Selasa, 27 Januari 2009

Laporan Publik 2008



‘Tetap Kritis di Tengah Upaya Daerah Menggapai Mimpi dengan Membabat Hutan’

Kesimpulan

Upaya menggapai mimpi di tengah kondisi lingkungan yang tergedrasi memang adalah pekerjaan yang sangat berat dan dilematis namun pilihan instan yang memprioritaskan faktor ekonomi semata dan mengabaikan faktor lain justru sangat disayangkan.
Akses yang bear terhadap modal dengan mengorbankan kawasan hutan bukanlah pilihan bijak menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat. Terbukti dengan kondisi perekonomian yang masih jauh dari yang diharapkan sementara luasan tutupan hutan semakin menyusut.

Selain itu di hampir semua daerah kabupaten dan kota membuktikan bahwa sektor pertanian ternyata masih merupakan andalan karena berkontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah sampai dengan tahun 2008 ini. hanya saja yang sangat disayangkan justru sektor ini yang paling terancam setelah hutan dibabat karena keran investasi dibuka lebar untuk industri pertambangan dan perkebunan sawit yang rakus lahan.

Fakta bencana yang terjadi akibat penggundulan hutan yang massif seringkali menjadi faktor utama yang melumpuhkan aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga sangat tidak bijak jika hal ini dibiarkan ataupun diabaikan sepanjang tahun.
Upaya daerah menggapai mimpi kesejahteraannya dikhawatirkan hanya akan menjadi sebuah mimpi buruk jika kondisi ini terus berlangsung dan berlarut-larut. Kesejahteraan itu pada akhirnya ibarat mimpi indah yang sangat mahal bagi daerah ini karena untuk menggapainya harus mengorbankan hutan dan suber daya alam lainnya dikuras.

Untuk itu Walhi sulteng dengan segala daya dan keterbatasannya tetap mencoba kritis di tengah situasi yang semakin kritis ini sebagai wujud konsistensi dalam komitmen memperjuangkan kebijakan yang pro rakyat dan pro lingkungan demi menggapai mimpi kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan.***


Catatan :
Dokumen lengkap akan dikirimkan via japri silakan hubungi sulteng@walhi.or.id

Selasa, 20 Januari 2009

Kasus Karupsi DLHK Palu Polisi Belum Tahan Tersangka

Media Alkhairat, Selasa 20 Januari 2009

Kasus Karupsi DLHK Palu
Polisi Belum Tahan Tersangka

Palu – Hingga kini Polisi belum menahan empat tersangka kasus dugaan korupsi yang terjadi di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Palu sebesar Rp 1,3 miliar.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng AKBP Irfaizal Nasution yang ditemui Media Alkhairat mengatakan, kasus dugaan korupsi yang melibatkan tersangka Bobby Wowor, Dahniar, Samuel dan Amiruddin Sahib itu belum bisa dilakukan penahanan.
Dia menambahkan, para tersangka kasus dugan korupsi di kantor DLHK ini belum dilakukan panahanan, sebelum pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu menyatakan P-21 (diterima) Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para tersangka. “Kami belum bisa menahan para tersangka sebab jaksa belum menetapkan P-21,” katanya.
Selain itu tambah Irfaizal, hasil audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan Pembangunan (BPKP), unsur kerugian negara senilai Rp 1,3 miliyar telah terbukti.
Dia berjanji, setelah ditetapkan sebagai P-21 atau Tahap II, para tersangka kasus dugaan korupsi DLHK ini akan ditahan. Para tersangka dugaan korupsi ini masing-masing Bobby Wowor selaku Kepa Dinas DLHK, Kepala Pejabat Pelaksa Teknis Kwegiatan (PPTK) Samuel, Bendahara DLHK Dahniar dan mantan Kepala Dinas DLHK Aminuddin Sahib.
Sekedar mengingatkan, kasus itu terungkap setelah Satuan Tindak Pidana Karupsi (Tipikor) Polda Sulawesi Tengah yang dipimpin langsung Kasat III AKBP Jayadi menggeledah kantor itu pada awal Agustus 2008. (ahmad)

HPP Beras Naik, Distributor Merugi

Media Alkhairat, Selasa 20 Januari 2009

HPP Beras Naik, Distributor Merugi

Palu – Memasuki minggu keempat Januari 2009, harga beras dipasaran naik hingga 20 persen. Adanya kenaikan tersebut membuat sejumlah distributor beras mengalami kerugian.
Sandra pemilik Toko Cahaya Baru Pasar Masomba, salah satu distributor beras di pasar tradisional Masomba saat ditemui Media Alkhairat, Senin (19/1) mengatakan, jika kondisi ini berlangsung lama, para pedagang beras gulung tikar. Karena harga beras untuk jenis Kepala, Bramo dan Superwin sebelumnya Rp 5.200/kilogram, namun saat ini harga tersebut merupakan harga jual dari petani yang harus dibayar para pedagang.
Dia menyebutkan, sedangkan untuk harga beras ukuran 25 dan 50 kilogram, selisih harga yang dibeli mencapai Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu.
“Sebenarnya selisih itu merupakan keuntungan kami sebelum harga naik,” katanya.
Dia mengatakan, kenaikan harga beli beras dari petani tersebut dipicu kurangnya stok serta meningkatnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) oleh Bulog ke petani dari Rp 4.300,-/kilogram menadi Rp 4.600.-/kilogram.
“Selain tingginya harga dan persediaan menurun, kenaikan itu juga dipicu telah usainya panen di wilayah Sulteng serta gagalnya panen diluar wilayah Sulteng seperti Sulsel, yang menjadi alternatif distributor mengambil stok beras,” ujarnya.
Dia menambahkan, saat ini harga jual beras jenis Kepala dan Bramo Rp 5.500 per kilogramnya. Untuk jenis Superwin dijual dengan harga Rp 5.600 per kilogramnya.
“Beras Kepal untuk ukuran 25 kilogram, satu karungnya dijual seharga Rp 120 ribu, sedangkan untuk ukuran 50 kilogram dijual dengan harga Rp 280 ribu. Sementara untuk jenis Superwin ukuran 25 kilogram dijual dengan harga Rp 145 ribu dan 50 kilogram dijual dengan harga Rp 285 ribu,” urainya.
Sementara itu Kepala Bagian Bidang Perdagangan Perindakop Sulteng, Kaharuddin mengatakan, kenaikan harga beras tersebut sesuai Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2008 yang berlaku sejak 1 Januari lalu. “Dalam Inpres itu kenaikan HPP naik kurang lebih 10 persen,” tandasnya. (rhia)

Pembangunan PT PLTM Tomini PT PLN Bayar Konpensasi Pengganti Lahan

Media Alkhairat, Senin 19 Januari 2009

Pembangunan PT PLTM Tomini
PT PLN Bayar Konpensasi Pengganti Lahan

Perigi – Pemerintah Parigi Moutong bersama pihak PT. PLN (Persero) Proyek Induk Pembangkit dan Jaringan Sulawesi, Maluku dan Papua (Pikitring Sulmapa), kembali menemui warga pemilik lahan, di Desa Tomini Barat Kecamatan Tomini, guna melakukan pembayaran konpenasasi pengganti lahan milik warga.
Lahan milik warga yang dibayarkan tersebut akan dijadikan lokasi pembangunan Proyek Listrik Tenaga Mini Hydro (PLTM).
Wakil Bupati Parigi Moutong Samsurizal Tombolotutu yang hadir dalam pertemuan itu kepa Media Alkhairat baru-baru ini mengatakan, maksud pertemuan adalah untuk memenuhi kesepakatan PT PLN selaku pelaksana Proyek PLTM dengan pemilik lahan yang difasilitasi Pemkab Parigi Moutong beberapa bulan lalu. Dia menyebutkan, PT PLN akan memberikan biaya konpensasi kepada pemilik lahan, sesuai kesepakatan dan dilaksanakan dalam pertemuan yang dipusatkan di balai Desa Tomini Barat, Kamis (15/1) lalu. Kata Samsurizal, sedikitnya 66 orang pemilik lahan yang mendapatkan biaya kompensasi dari PT PLN ( Persero) Pikitring Wilayah Sulmapa, dengan total anggaran berkisar Rp 313 juta dengan luas lahan keseluruhan 10 hektar.
“Sebenarnya rata-rata pemilik mau menghibahkan lahannya sebagai bentuk dukungan mereka terhadap pembangunan PLTM ini, namun kami tidak begitu saja menerimanya, makanya disepakati adanya biaya kompensasi itu sebagai bentuk penghargaan dukungan masyarakat,” jelas Wabup.
Dia menambahkan, dengan dibayarkannya kompensasi itu maka proses selanjutnya tingga pembangunan saja, karena secara administrasi tidak ada permasalahan lagi termasuk soal pembebasan lahan dan perizinan. Ia berharap, pihak PLN dalam proses pembangunan PLTM itu kiranya dapat melibatkan warga sekitarnya sebagai tenaga kerja khususnya pekerjaan yang tidak sifatnya teknis.
“Pemerintah sangat mengharapkan warga Kecamatan Tomini untuk mendukung sepenuhnya selama proses pembangunan PLTM berlangsung, hingga selesai tepat waktu,” katanya.
Samsurizal menambahkan, dengan keberadaan PLTM itu dapat membantu menyelesaikan masalah krisis listrik di Parigi Moutong, khususnya di Kecamatan Tomini, Tinombo Selatan, Tinombo, Palasa, Mepanga, Bolano Lambunu, Taopa dan Kecamatan Moutong. (ardin)

Rabu, 14 Januari 2009

Akibat Cuaca Tak Menentu

Petani di Sigi Gagal Panen
Media Alkhairaat, 15 Januari 2009
SIGI-Sejumlah petani di Kab. Sigi mengeluh karena hasil pertanian mereka gagal panen. Salah satu penyebab gagalnya panen kali ini disebabkan iklim cuaca yang tidak menentu serta jadwal tanam yang dikeluarkan Dinas Pertanian tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini.
Tajwid (45) petani asal Kalukubula misalnya, ia merasa hasil sawahnya terkadang tidak bisa dia rasakan. Ini dikarenakan terjadinya kerusakan tanaman sehingga hasil panen pun tidak dinikmatinya.
“dengan adanya hujan pada saat panen merusak tanaman sawah kami,” kata Tajwid kepada Media Alkhairaat, Rabu (14/1)
Menurut dia, dari hasil diskusi kelompok Tani Pangale Indah, Desa Kalukubula saat mengikuti pelatihan petani, di desa tersebut. Didapatkan penyebab utamanya adalah tidak sesuainya jadwal Jalur Tanam yang diberikan oleh Dinas Pertanian dengan kondisi iklim.
Hal senada juga diutarakan Ismail Zen, salah satu anggota Kelompok Tani Pangale Indah. Menurut dia, hal itu terjadi karena petani kebanyakan menggunakan jadwal yang diberikan oleh Dinas Pertanian. Padahal jadwal yang diberikan oleh Dinas Pertanian itu dibuat pada tahun 80-an.
“seharusnya jadwal jarak tanam itu, disesuaikan dengan ilmu perbintangan. Bukan ilmu klimatologi,” kata pria yang disapa Zen ini.
Dia mengaku, pernah mengikuti pelatihan petani di Makassar dan menyaksikan para pakar yaitu Profesor dan juga mahasiswa, memfaslitasi petani yang memiliki pengetahuan perihal perbintangan.
“di Makassar apa yang diputuskan oleh petani yang tahu tentang perbintangan itulah yang menjadi patokan mahasiswa,” ujarnya.
Zen menambahkan, terjadinya perubahan iklim cuaca juga disebabkan oleh perusakan ekosistem yang lain, seperti pembalakan hutan. Olehnya, klimatologi yang hanya memprediksi siklus lima tahunan tidak bisa diharap banyak.
Dia berharap, pemerintah bisa pula memediasi para petani yang mengetahui perbintangan. Agar supaya para petani juga merujuk pada yang ahli perbintangan pula. “ Kerusakan tanaman petani memang sering terjadi di wilayah Sulteng. Sebab perubahan iklim, pada saat masa tanam seharusnya kita membutuhkan hujan dan perkembangan tanaman kita juga butuh hujan, dan pada saat panen kita menginginkan panas. Tapi iklim berkata lain pada saat panen malah terjadi hujan, akhirnya gagal panen,” tandas Zen.
Sementara itu, kepala Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP), Hakim Abdullah membenarkan terjadinya pergeseran cuaca sehingga merusak tanaman petani. Olehnya Hakim menyarankan agar petani tetap menjaga kearifan lokal.
“kearifan lokal harus dijaga, itu tidak masalah bagi pertanian. Karena ilmu-ilmu tradisional (ilmu-ilmu perbintangan) tidk bisa dilepaskan dari pertanian. Namun jadwal tanam yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak jauh meleset dari itu,” kata Hakim Abdullah.
Sementara itu, Sri Wahyuni, penyuluh petani Sigi Biromaru membenarkan pula hal itu. Dia mengaku, telah meminta kepada Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk mengganti jadwal pertanian.
“saya sudah meminta kepada BPTP untuk jadwal yang telah diubah untuk tahun 2009 ini. namun saat ini belum ada,” kata Sri. (nanang)

Senin, 05 Januari 2009

PLN Upayakan Mesin 25 MW Awal 2009

Media Alkhairat, Rabu 17 Desember 2008

PLN Upayakan Mesin 25 MW Awal 2009

Palu – Untuk mengatasi krisis listrik di Sulawesi Tengah, PT PLN Cabang Palu akan mengupayakan pengadaan mesin 25 Megawatt (MW) diawal tahun 2009.
Kepala Pelaksana Harian PLN Cabang Palu, melalui Humasnya Petrus mengatakan, penambahan mesin 25 MW tersebut, akan mengurangi beban krisis listrik yang ada. Menurut Petrus, pihaknya tidak bisa memastikan kapan mesin berkekuatan 25 MW itu beroperasi.
“Kami dari pihak PLN tidak bisa menentukan kapan beroperasinya mesin tersebut, tapi kami akan mengupayakan diawal tahu 2009, mesin itu sudah berada di Palu,” kata Petrus yang ditemui Media Alkhairat diruang kerjanya Selasa sore kemarin.
Dia menambahkan, pengajuan penambahan mesin tersebut beserta uji kelayakannya sudah disetujui oleh PLN Pusat. Namun untuk membuat suatu perencanaan beroperasi mesin itu pihaknya tidak bisa mengada-ngada.
“Jadi kalau mesin baru ini sudah beroperasi, maka bisa membantu para konsumen yang masuk dalam daftar tunggu tersebut,” tuturnya.
Pemasangan multiguna yang diputuskan karena kontrak telah berakhir lanjut Petrus, dengan kedatangan mesin 25 MW ini akan bisa membantu untuk penyambungan kembali. Hal itu akan disesuaikan dengan neraca daya yang ada.
Petrus menjelaskan, jika penyuplaian daya dari PLTU kepada PLN sudah normal dan kondisi PLTD Silae juga tidak ada kerusakan, maka kelistrikan di Kota Palu akan kembali normal. Akan tetapi jika sebaliknya, maka pihak PLN masih tetap akan berlakukan pemadaman secara bergilir.
“Kalau belum normal PLTU dan PLTD Silae maka pasti akan terjadi pemadaman lagi,” kuatirnya. (ahmad)

PLN Upayakan Mesin 25 MW Awal 2009

Media Alkhairat, Rabu 17 Desember 2008

PLN Upayakan Mesin 25 MW Awal 2009

Palu – Untuk mengatasi krisis listrik di Sulawesi Tengah, PT PLN Cabang Palu akan mengupayakan pengadaan mesin 25 Megawatt (MW) diawal tahun 2009.
Kepala Pelaksana Harian PLN Cabang Palu, melalui Humasnya Petrus mengatakan, penambahan mesin 25 MW tersebut, akan mengurangi beban krisis listrik yang ada. Menurut Petrus, pihaknya tidak bisa memastikan kapan mesin berkekuatan 25 MW itu beroperasi.
“Kami dari pihak PLN tidak bisa menentukan kapan beroperasinya mesin tersebut, tapi kami akan mengupayakan diawal tahu 2009, mesin itu sudah berada di Palu,” kata Petrus yang ditemui Media Alkhairat diruang kerjanya Selasa sore kemarin.
Dia menambahkan, pengajuan penambahan mesin tersebut beserta uji kelayakannya sudah disetujui oleh PLN Pusat. Namun untuk membuat suatu perencanaan beroperasi mesin itu pihaknya tidak bisa mengada-ngada.
“Jadi kalau mesin baru ini sudah beroperasi, maka bisa membantu para konsumen yang masuk dalam daftar tunggu tersebut,” tuturnya.
Pemasangan multiguna yang diputuskan karena kontrak telah berakhir lanjut Petrus, dengan kedatangan mesin 25 MW ini akan bisa membantu untuk penyambungan kembali. Hal itu akan disesuaikan dengan neraca daya yang ada.
Petrus menjelaskan, jika penyuplaian daya dari PLTU kepada PLN sudah normal dan kondisi PLTD Silae juga tidak ada kerusakan, maka kelistrikan di Kota Palu akan kembali normal. Akan tetapi jika sebaliknya, maka pihak PLN masih tetap akan berlakukan pemadaman secara bergilir.
“Kalau belum normal PLTU dan PLTD Silae maka pasti akan terjadi pemadaman lagi,” kuatirnya. (ahmad)

PLN Upayakan Mesin 25 MW Awal 2009

Media Alkhairat, Rabu 17 Desember 2008

PLN Upayakan Mesin 25 MW Awal 2009

Palu – Untuk mengatasi krisis listrik di Sulawesi Tengah, PT PLN Cabang Palu akan mengupayakan pengadaan mesin 25 Megawatt (MW) diawal tahun 2009.
Kepala Pelaksana Harian PLN Cabang Palu, melalui Humasnya Petrus mengatakan, penambahan mesin 25 MW tersebut, akan mengurangi beban krisis listrik yang ada. Menurut Petrus, pihaknya tidak bisa memastikan kapan mesin berkekuatan 25 MW itu beroperasi.
“Kami dari pihak PLN tidak bisa menentukan kapan beroperasinya mesin tersebut, tapi kami akan mengupayakan diawal tahu 2009, mesin itu sudah berada di Palu,” kata Petrus yang ditemui Media Alkhairat diruang kerjanya Selasa sore kemarin.
Dia menambahkan, pengajuan penambahan mesin tersebut beserta uji kelayakannya sudah disetujui oleh PLN Pusat. Namun untuk membuat suatu perencanaan beroperasi mesin itu pihaknya tidak bisa mengada-ngada.
“Jadi kalau mesin baru ini sudah beroperasi, maka bisa membantu para konsumen yang masuk dalam daftar tunggu tersebut,” tuturnya.
Pemasangan multiguna yang diputuskan karena kontrak telah berakhir lanjut Petrus, dengan kedatangan mesin 25 MW ini akan bisa membantu untuk penyambungan kembali. Hal itu akan disesuaikan dengan neraca daya yang ada.
Petrus menjelaskan, jika penyuplaian daya dari PLTU kepada PLN sudah normal dan kondisi PLTD Silae juga tidak ada kerusakan, maka kelistrikan di Kota Palu akan kembali normal. Akan tetapi jika sebaliknya, maka pihak PLN masih tetap akan berlakukan pemadaman secara bergilir.
“Kalau belum normal PLTU dan PLTD Silae maka pasti akan terjadi pemadaman lagi,” kuatirnya. (ahmad)

Banjir Awal Tahun Petaka Nupabomba Bawa Sengsara

Media Alkhairat, Jum’at 2 Januari 2009

Banjir Awal Tahun
Petaka Nupabomba Bawa Sengsara

Nupabomba – Ternyata bencana tak jua berhenti, meski tahu telah bertukar. Belum lagi tahun 2009 beranjak tua, malapetaka telah datang lagi. Kali ini, saat aroma pesta pisah tahun masih merebak, belasan rumah di Desa Nupabomba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Kamis kemarin rusak diterjang banjir.
Bahkan enam rumah warga diantanya rusak parah akibat banjir bercampur lumpur ini. Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini namun kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.
Banjir bandang yang terjadi di Desa Nupabomba, Kecamatan Tanantovea ini terjadi akibat hujan deras yang turun sejak Kamis pagi. Tiga jam kemudian, tiba-tiba muncul air bah dari Sungai Nupabomba dan langsung menerjang belasan rumah warga yang berada dipinggiran sungai. Air bah bercampur lumpur ini juga membawa batu besar.
Akibatnya sejumlah rumah warga yang umumnya terbuat dari kayu dan papan ini rusak. Warga tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa menyelamatkan sebagian harta bendanya. Selain rusak, rumah-rumah warga juga tergenang air bercampur lumpur setinggi betis orang dewasa.
Menurut Herman, sebelum air bah datang ia sempat berkemas-kemas untuk menyelamatkan barang-barangnya. Namun naas air bah lebih cepat datang dan menerjang rumahnya. Herman hanya bisa menyelamatkan kipas angin dan televisinya sedangkan lainnya habis tersapu banjir. “Cepat sekali banjir itu datang,” kata dia.
Ny Elvi (36), korban banjir lain mengatakan, air sungai meluap dan menggenangi rumah penduduk hingga setinggi hampir dua meter.
Akibat kejadian tersebut, Jalan Trans Sulawesi sepanjang hampir 30 kilometer tertutup longsor yang disebabkan oleh guyuran hujan deras.
Hal itu diperparah dengan adanya runtuhan batang pohon yang tumbang dan batu-batu yang terjatuh dari atas perbukitan. Diperkirakan terdapat belasan titik longsor di jalur kebun kopi tersebut.
Sementara itu, ratusan kendaraan masih tertahan disisi jalan yang tidak terendam. Sedangkan kendaraan bermotor hanya bisa lewat tetapi dengan pelan-pelan. “Mudah-mudahan pemerintah segera turun tangan untuk membantu membuka jalan kata Evi seperti disitat Antara.
Warga yang rumahnya rusak diterjang banjir ini kini mengungsi dirumah tetangga dan keluarganya. Sedangkan sebagian warga lainnya memilih bertahan karena takut isi rumahnya dijarah. Cuaca di Tanantovea, Kabupaten Donggala saat ini masih memburuk dan warga khawatir datangnya banjir susulan. Dapat dipastikan dalam dua-tiga hari kedepan, sengsara di Nupabomba belum akan pupus. (ahmad)

Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan Akhir Tahun 2008 Kondisi Lingkungan Sulawesi Tengah















di publish oleh : Media Alkhairaat edisi, 31 Desember 2008

Menanti Sejahtera Tanpa Bencana Harus Datang Setiap Hari

Oleh : Wilianita Selviana (Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah)

Maraknya investasi di Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2008 telah mengabaikan faktor penting yaitu daya dukung lingkungan daerah ini. Praktek ekspansi modal di berbagai wilayah kabupaten dan kota selalu tidak dibarengi dengan komitmen transparansi proyek yang baik dan prosedural serta menjamin kelestarian lingkungan bahkan juga meminggirkan sektor pertanian yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan masyarakat di Sulawesi Tengah.

Sejumlah daerah kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tengah yang memiliki potensi tambang baik itu emas, nikel, bijih besi dan migas beramai-ramai ‘dijual’ ke pemilik modal atau dilakukan tukar guling antar pemilik Kontrak Karya dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) ataupun izin konsesi lain yang tidak lagi aktif di lapangan. Pemenuhan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi alasan yang klasik memang tapi mampu mengelabui masyarakat yang dari dulu hingga kini dijanjikan kesejahteraannya.
Investasi, Kepentingan Modal vs Degradasi Lingkungan

Sebelum disahkan UU Minerba tanggal 16 Desember 2008 yang lalu, tercatat saat ini 6 perusahaan yang mengantongi Kontrak Karya, lebih dari 100 perusahaan mengantongi 151 ijin Kuasa Pertambangan dan 68 perusahaan mengantongi Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dengan total luasan konsesi mencapai 2.405.162 Ha. Menurut perhitungan sementara Walhi Sulteng, diperkirakan areal kuasa pertambangan tersebut separuhnya (lebih dari 1 juta hektar) mengambil kawasan hutan.

Semangat menyukseskan program percepatan pembangunan Sulawesi tengah yang salah satunya adalah membangun infrastruktur mulai digalakan. Proyek jalan alternatif Mamboro-Parigi senilai kurang lebih 200 milyar rupiah diharapkan bisa menunjang lalu lintas ekonomi masyarakat menjadi lebih baik lagi. Proyek ini seolah-olah menjadi lebih prioritas dibanding yang lain, hingga pemerintah kota Palu sendiri bersedia menalangi sementara pembebasan lahan masyarakat yang akan dilalui jalur ini dari dana APBD sambil menunggu pencairan dana dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Abu Rizal Bakrie sebagaimana yang dianggarkan di APBN. Namun sayangnya hingga hari ini Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Detail Engineering Desain (DED) dari proyek milyaran rupiah ini belum tampak wujudnya. Di saat yang bersemaan pula rencana pembukaan tambang emas Poboya yang berada dalam satu kawasan dengan proyek jalan poros ini, akan kembali dilakukan oleh PT. Bumi Resources yang notabene adalah milik Bakrie Group. Masih sekaitan dengan kawasan yang sama yaitu Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah, di revisi tata ruang propinsi tahun 2008 ada rencana untuk menyusutkan kawasan ini dari total luasan 7.128 Ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999 tanggal 29 Januari 1999, karena kondisi terakhir menunjukan berkurangnya tegakan pohon dalam kawasan dan yang ada hanya tinggal semak belukar. Suatu kebetulan yang sangat menarik dan tidak diduga sebelumnya.

Sementara itu ekspansi perkebunan skala besar dalam wujud perkebunan sawit juga tidak tanggung-tanggung membabat hutan dan lahan pertanian masyarakat. Sebut saja kasus di desa Era kec. Mori Atas sekitar 36km dari kota Kolonodale. PT Rimba Alam Sejahtera (RAS) anak perusahaan dari Astra Agro Lestari menggusur lahan perkebunan karet masyarakat pada bulan Februari 2008. Seluas 6.000 Ha sudah ditanami sawit dari rencana 8.000 Ha. Selain karet, tanaman kakao juga sudah digusur namun belum diganti rugi hingga saat ini. Dalam keadaan terpaksa akhirnya masyarakat menjual tanahnya sangat murah sekitar 500.000,00/ha. Di Kabupaten Poso pun kurang lebih sama lokasi seluas 9.775 Ha yang dicanangkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah HB. Paliudju pada tanggal 25 Agustus 1996 untuk pemukiman dan pertanian, oleh Pemerintah Kabupaten Poso pada tahun 2008 ini diberikan izin lokasi bagi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Sawit Jaya Abadi (Astra Agro Lestari) seluas 8.500 Ha.

PT. Sinar Mas juga tidak ketinggalan, perusahaan perkebunan sawit yang satu ini sudah memulai aktivitasnya pada tahun 2006 berlokasi di kec. Lembo dengan luas konsesi 5.170 Ha. Saat ini perusahaan sudah melakukan penanaman sekaligus pembibitan. Rencananya PT. Sinar Mas akan mengelola perkebunan sawit ini dengan system plasma rakyat. Dari informasi tim teknis penyusun Dokumen AMDAL Sinar Mas Group, sebenarnya Sinar Mas mengincar lahan sekitar 60.000 Ha melalui 9 anak perusahaannya. Hanya saja mereka belum tahu dengan pasti daftar nama anak perusahaan selain PT. Primatama Kreasi Mas, pada umumnya mereka lebih mengenal dengan nama Sinar mas Group saja. Kawasan hutan juga tidak menjadi pengecualian untuk ekspansi perusahaan ini mengingat kebiasaannya mengganti tegakan kayu hutan dengan tanaman sawit di beberapa daerah lain di Indonesia.
Pemenuhan target biofuel sebagai energi alternatif pengganti energi fosil adalah salah satu pemicu utama ekspansi perkebunan sawit. Pembangunan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber energi nabati menjadi ‘jualan’ yang sangat laku saat ini dan pilihan mayoritasnya adalah sawit padahal fakta lapangan menunjukan perkebunan sawit telah mengancam ketersediaan sumber air bersih, menimbulkan konflik agraria dan berkurangnya kualitas tanah serta mengancam ketahanan pangan di wilayah operasinya.

Masalah lain adalah kebijakan energi daerah yang simpang siur. Hal ini menyebabkan krisis energi listrik yang sudah bisa dikategorikan sebagai bencana. Semua kabupaten dan kota yang ada di Sulawesi Tengah mengalami pemadaman listrik lebih dari 6 jam setiap hari. Padahal ketergantungan masyarakat terhadap energi listrik meningkat setiap harinya. Beberapa waktu lalu terjadi saling tuding antar pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sulawesi Tengah dengan pihak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mpanau yang selama ini bekerja sama untuk suply energi listrik di wilayah ibukota propinsi juga turut berpengaruh menjadikan warga korban utama. Begitu pula dengan PLTA Poso 2 yang akan segera beroperasi, Sulawesi Tengah hanya mendapat ’jatah’ 30 % dari total energi yang dihasilkan, itupun tetap dengan prinsip jual beli. Artinya Sulawesi Tengah juga harus membayar energi yang dihasilkan dari PLTA Poso 2 sebagiamana konsumen lainnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang membeli energi listrik dari PLTA Poso 2.

Namun ketidak jelasan posisi tawar yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda), seperti pada proyek PLTU Mpanau dan PLTA Poso tidak dijadikan bahan evaluasi untuk proyek lainnya. Terbukti saat ini segera dibangun PLTA Gumbasa di Kabupaten Sigi Biromaru, masih dengan alasan yang sama yaitu krisis energi. Lagi-lagi pihak swasta menjadi sandaran pemda. Wajar kemudian jika ada suara-suara sumbang menuntut pertanggungjawaban penggunaan dana-dana APBD yang dianggarkan untuk kesejahteraan masyarakat selama ini. Proses penyelesaian krisis yang instan seperti ini, selalu menjadi pilihan utama ketimbang kebijakan yang berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan serta lebih ramah lingkungan.

Berharap Bencana Tidak Datang Setiap Hari
Bencana banjir dan longsor yang terjadi hampir di seluruh wilayah Sulawesi Tengah semakin parah pada pertengahan tahun 2008 dimana bukan hanya menimbulkan korban jiwa saja tapi lahan pertanian masyarakat juga sarana dan prasarana seperti jembatan dan jalan poros rusak total, yang kemudian memutus jalur transportasi antar wilayah kabupaten/kota. Dari hasil pantauan media tercatat lebih dari 100 kali terjadi banjir dan longsor sepanjang tahun 2007-2008 hampir di semua wilayah kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Penyebabnya selain akibat curah hujan tinggi yang diduga karena perubahan iklim (climate change) juga akibat laju deforestasi Sulawesi Tengah yang hampir mencapai 100.000 Ha per tahun (Walhi Sulteng, 2008).
Bencana lain adalah pemadaman listrik yang terjadi setiap hari. Hal ini menyebabkan makin buruknya kondisi perekonomian daerah karena hampir semua sektor usaha memiliki ketergantungan yang besar terhadap energi listrik. Pemadaman listrik juga memicu terjadinya kebakaran di sejumlah rumah warga akhir-akhir ini yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan lilin sebagai alat ganti penerangan. Kerugian sektor usaha ekonomi yang besar dirasakan oleh pelaku usaha maupun rumah tangga saat ini merupakan bencana sosial.
Kehadiran investor ataupun kepentingan pemilik modal di daerah ini merupakan bagian dari upaya pembangunan daerah yang lebih baik bukan ‘mengundang’ bencana datang setiap hari. Banjir bandang yang melanda kabupaten Morowali tahun 2007 lalu, anggota Komisi VI DPR menyerahkan bantuan sebanyak Rp 15 juta dan Departemen Kesehatan mengirimkan bantuan Rp 100 juta dana operasional penanggulangan bencana juga dari PT. Jamsostek mengucurkan dana Rp. 100 juta (dari berbagai sumber). Untuk pemadaman listrik harusnya Pemerintah bisa mengeluarkan anggaran sosial untuk mengatasi hal ini. Bukan justru berdebat siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi seperti saling lempar tanggung jawab yang terjadi antara pemerintah provinsi (Pemprov) dan pemerintah kota (Pemkot) Palu saat ini.

Euforia Politik Mengalihkan Isu Penyelamatan Lingkungan
Menjelang Pemilu 2009 mendatang, hampir semua perhatian tersita menyaksikan kampanye para politisi yang akan berebut kekuasaan di negeri ini. Sulawesi Tengah juga kondisinya tidak jauh berbeda, kerusakan lingkungan dan laju penyusutan tutupan lahan hutan menjadi cerita usang. Perbincangan seputar partai politik, peluang pemenang peserta Pemilu 2009 dan siapa calon presiden yang paling diminati adalah topik yang lebih menarik. Euforia politik telah mengalihkan perhatian masyarakat dari fakta lapangan tentang kondisi daya dukung lingkungan dan bencana yang setiap hari menjadi pemandangan di depan mata.

Pertarungan penguasaan ruang pada wilayah kawasan-kawasan hutan dan pemukiman yang didasarkan hanya pada kepentingan sektor penguasaan hutan, perkebunan dan pertambangan diabaikan oleh para politisi bahkan ada juga yang justru memperoleh keuntungan dari hal ini. Jika dikalkulasi, daratan Sulawesi Tengah seluas 6.036.950 Ha yang dikuasai oleh Negara 2.760.290 Ha (45,72%) dengan klasifikasi Hutan Lindung (HL) seluas 1.337.710 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 1.422.580 Ha. Sementara yang dikuasai oleh Investor seluas 3.715.755,39 Ha (61,55 %). Jadi semakin jelas bahwa tidak ada lagi lahan untuk kepentingan rakyat karena hutan yang dikuasai Negara pun dialih fungsikan untuk kepentingan investasi

Upaya penyelamatan lingkungan adalah suatu keharusan bagi daerah ini, pembiaran terhadap proses pengalihan lahan pencanangan untuk pertanian menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit yang mengancam sumber pangan masyarakat, konflik kepemilikan lahan dan degradasi lingkungan merupakan sikap yang sangat disayangkan. Jika melihat sekilas jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2004-2006 terus merabah naik baik dilihat dari angka absolute maupun angka relatif(tabel 1). Kenaikan yang cukup drastis, yaitu dari 486,3 ribu (21,69 persen) pada tahun 2006 menjadi 566,1 ribu (24,09 persen) pada tahun 2006. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama tersebut terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 16,33 persen(2005). Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi semakin miskin. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 557,4 ribu dan secara relatif juga terjadi penurunan perentase dari 24,09 persen pada tahun 2006 menjadi 22,42 persen namun hal ini tidak begitu signifikan. Angka penerima bantuan langsung tunai (BLT) pun tidak berubah dari tahun 2005 hingga 2008 sebesar 210,378 KK. (BPS Sulteng, 2008)

Perbaikan kondisi Lingkungan, Sosial dan Ekonomi di Sulawesi Tengah seharusnya dimulai dengan pembenahan dari dalam bukan dari luar. Apalah artinya investasi besar-besaran masuk ke daerah ini jika ternyata berbanding terbalik dengan kondisi yang diharapkan. Posisi tawar pemda yang lemah dan ketidakkompakan antar pengambil kebijakan di daerah ini, dalam merumuskan kebijakan yang berdampak positif untuk jangka panjang tanpa mengutamakan proses instan sudah harus dilakukan saat ini. Selain itu, bukan hanya angka kemiskinan yang harus ditekan tetapi juga laju deforestasi di daerah ini karena hutan kita bukan untuk digadaikan melainkan untuk diwariskan bagi generasi datang. Sehingga kesejahteraan itu bukan lagi mimpi yang harus dibayar dengan bencana. ***