Kamis, 23 Oktober 2008

Jika Bakrie jadi Menambang Emas di Poboya Mungkin Palu akan jadi ‘Lapindo 2’

Oleh : Wilianita Selviana

Kandungan emas di wilayah tambang Poboya Blok I CPM (PT. Citra Palu Mineral) seluas 561.050 Ha memang bisa membuat siapa saja tergiur untuk mengolahnya. Kepemilikan 100% pada PT Citra Palu Minerals yang memiliki hak pada konsensi tambang seluas 95.496 ha di Sulawesi Tengah, Indonesia.

Di tahun 2005 Bumi Resources (Grup Bakrie) membeli 99,99% saham PT.Citra Palu Minerals dari Newcrest Mining Group/Newcrest Mining Ltd yang sebelumnya juga membeli dari PT. Rio Tinto. PT Citra Palu Minerals adalah perusahaan kontrak pertambangan generasi ke enam yang berlokasi di Palu, Sulawesi Tengah. Setelah di relinquish, kontrak kerja ini terdiri atas enam blok. Prospek Poboya, blok 1, merupakan tahap eksplorasi yang paling maju dengan menyelesaikan program pemboran tahap pertama. Hasil dari program ini mengidentifikasikan adanya kandungan emas sebesar dua juta ons. (Informasi kepada Pemegang Saham Bumi Resources, 2008)

Lokasi tambang yang bakal dikuasai Bumi Resources ini berada di wilayah konservasi yaitu Taman Hutan Raya Palu. Pada masa Gubernur Sulawesi Tengah Prof. (EM) H. Aminudin Ponulele, pernah menutup lokasi pertambangan tersebut dengan alasan berada di wilayah hutan lindung. Namun setelah pergantian Gubernur pada 2006 silam, Gubernur baru HB. Paliudju sepertinya berbeda pendapat dan memberikan lampu hijau kepada Investor yang akan menambang emas di Poboya dengan alasan dapat mendukung program percepatan pembangunan Sulawesi Tengah.

Tahun 2007 yang lalu dalam berita Investor Daily, PT Bumi Resources Tbk (Bumi) melalui anak perusahaannya, PT Citra Palu Minerals (CPM), akan memproduksi emas dari wilayah kuasa pertambangan Pobaya, Palu, Sulawesi Tengah, pada 2011. Senior Vice President Investor Relations Bumi Dileep Srivastava mengatakan, Bumi sebenarnya telah menemukan cadangan emas sekitar dua juta ons. Kampanye ini yang terus digencarkan hingga harga sahamnya terus melambung sampai dengan Krisis Keuangan Global awal Oktober 2008 baru-baru ini dan Bumipun ikut terkena imbasnya. Hanya saja, Bumi tetap mengkampanyekan potensi emas poboya sebagai bahan ‘jualan’ untuk mendongkrak harga sahamnya yang terus anjlok sampai hari ini.

Kondisi lain saat ini di lapangan, masyarakat Poboya sudah mulai resah kembali dengan rencana akan beroperasi tambang emas Poboya di desa mereka yang sudah pasti akan menerima dampak langsung dari pencemaran sumber air bersih mereka. Karena lokasi titik pengeboran di areal konsesi ini terletak di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai Poboya) yang merupakan pusat aliran beberapa anak sungai yang bermuara di Teluk Palu. Keterancamannya bukan hanya pencemaran di Teluk Palu, tapi juga sumber air minum masyarakat kota Palu serta sumber air bagi lahan pertanian milik petani bawang dan jagung yang merupakan komoditi unggulan Kota Palu.

Sementara itu, masih terkait dengan rencana percepatan pembangunan Sulawesi Tengah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Abu Rizal Bakrie telah mengucurkan dana sebesar 50 Milyar Rupiah untuk pembangunan Jalan Poros Mamboro-Parigi yang menghubungkan Kota Palu dan Kabupaten Parigi Moutong dan akan melewati kawasan Hutan Lindung yang juga masuk dalam areal Konsesi PT. Citra Palu Mineral. Dana ini baru tahap I dari total 200 Milyar Rupiah yang akan dianggarkan. Jalur yang akan dibuka ini sebenarnya tidak jauh dari jalur yang sudah ada melintasi Kebun Kopi dengan ketinggian puncak 600 mdpl dan masih dapat dilalui hingga hari ini. Namun akibat maraknya pembalakan hutan di kawasan tersebut, menjadikan jalan ini menjadi bermasalah ketika musim penghujan tiba. Anehnya, pemerintah daerah justru begitu ngotot memperjuangkan jalur baru melalui Mamboro-Parigi padahal puncak ketinggian jalur itu 1.200 mdpl dan kerawanan ekologisnya juga kurang lebih sama dengan jalur yang ada saat ini. Jika benar ini merupakan konspirasi untuk pintu masuk tambang emas di Poboya yang sudah 10 tahun ini ditolak, bukan tidak mungkin kota Palu akan menjadi cerita Lapindo Jilid 2. Sebab satu-satunya tambang emas yang ada dalam wilayah kota adalah Tambang Emas Poboya.***

Rabu, 22 Oktober 2008

Seminar dan konsultasi Publik, Agama dan Kearifan Ekologi: Kerusakan Lingkungan Bukan Cerita Horor

Media Akhairaat
Rabu, 22 Oktober 2008

Palu-Selasa (21/10) kemarin suhu kota Palu seakan mengamini lirik lagu Ebit G Ade “Mungkin Alam Mulai Bosan.” Panas matahari menembus setiap ruang-ruang yang ada di bumi, termasuk ruang Aula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu.
Pada saat yang sama, di tempat itu sedang diadakan Seminar dan Konsultasi Publik “Agama dan Kearifan ekologi”. Dan seakan mengamini lagi lirik lagu Ebit G Ade, “Mungkin Tuhan Mulai bosan”, seminar ini bertajuk “Membangun Teologi dan Fiqh Ekologi di era otonomi.”
Dalam seminar ini Kepala Badan Pengawas Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulawesi Tengah, Solmi menatakan, kerusakan lingkungan pada saat ini diakibatkan tidak terkoordinasi dengan baiknya antara kabupaten dan kota.
“Tak ada koordinasi ini karena tak adanya kesadaran dari masyarakat tentang lingkungan, dan juga kurangnya kepedulian dari pimpinan di daerah tersebut,” sebut Solmi.
Rektor Universitas Alkhairaat, Lukman S Taher memberikan pandangan teologis-nya, bahwa Tuhan pun Tidak Tidur. Lukman mengatakan, tidak ada yang lepas dari pengawasan dan Mata Tuhan.
Ia mengilustrasikan, beberapa kisah sebagai contoh “mata-mata Tuhan” yang ada di bumi. Di antaranya, kisah Tukiyem dan Gareng, yang tegar dalam menghadapi tantangan dan rintangan dalam menjaga lingkungan.
Tukiyem dan Gereng, 56 tahun, sepasang suami istri yang tinggal di daerah kumuh Manggarai, tiba-tiba saja mereka menjadi selebriti dan terkenal karena telah menyelamatkan dua orang bocah “anak gedongan” yang keracunan bahan kimia dari sebuah produk makanan anak-anak.
“RS Cipto Mangunkusoma menjadi saksi perjuangan mereka, sebab kalu sedikit terlambat, kata dokter, maut menjempu mereka,” cerita Lukman S Taher.
Ia mengajak peserta seminar, untuk menjadi mata-mata Tuhan di bumi. Harus peka terhadap lingkungan dan tak terjebak dengan tampilan, yang terpenting slematkan bumi dari ancaman kepunahan dan kematian.
Sementara itu, Angota Pusat penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam (PP-BMBA) Lembaga Penelitian Universitas Tadulak, Abdullah MT memaparkan degradasi lingkungan di sulteng. Abdullah menjelaskan terjadinya bencana yag diakibatkan, tsunami, abrasi, penambangan karang, permasalahan huan mangrove, sedimentasi (pendangkalan), tambang galian C dan banjir.
“Terjadinya penambangan karang, karena masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, penduduk kota Palu di sekitar pantai Talise, Tondo dan Pantoloan melakukan pengambilan karang di laut. Padahal, pengambilan Batu Karang ini akan merusak kehidupan biota laut dan membahayakan penduduk di sekitar pantai,” kata Abdullah.
Dalam pandangan Fiqhi, Dosen STAIN Datukaramah, Rusli, menjelaskan, tawaran Fiqh dan Tindakan afirmatif. Ia mengatakan, menghidupkan tanah mati atau tidak produktif, serta lahan konservasi atau cagae alam adalah keharusan.
Ia mencontohkan soal kata Hima. Dalam literature Fiqh, katanya, Hima mengandung pengertian, lahan terlarang bagi orang lain. Dasarnya adalah hadis Nabi, semua Hima (lahan konsrevasi) hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya.
Maksudnya, kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya dan untuk dimiliki oleh siapapun, agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan pengembalaan hewan ternak.
“Atau untuk bahasa yang lebih luas, untuk kepentingan umum dalam menjaga keutuhan ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, sumber daya hayati, penyerapan karbon, dan sebagainya,” katanya.
Ia juga mengatakan, kepedulian terhadap lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yai tu lingkungan rumah. Dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon untuk penghijauan.
“Rasulullah Saw pernah mengatakan, seandainya hari ini adalah saat datangnya kiamat, dan ditanganku ada benih yang akan di tanam, maka saya akan menanam benih itu. Jadi Rasul menjarkan kepedulian terhadap alam kepada kita,” kata Rusli
Pada sesi pertanyaan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Wilianita Seilviana mengatakan, pembicaraan tentang lingkungan bukanlah cerita indah atau dongeng yang membuai. Tapi, menceritakannya ibarat mengisahkan cerita horor . “olehnya, cerita horor ini bukan nanti dirasakan ke depan, tetapi dirasakan sejak dari kemarin,” katanya.
Ia mengungkapkan, kekecewaannya terhadap pemerintah atas terjadinya beberapa kerusakan ekologi yang terjadi di sulteng. “Saya menyayangkan, pernyataan Gubernur Sulteng saat terjadi banjir bandang di Morowali. Saat itu gubernur mengatakan bahwa banjir itu bukan karena penggundulan hutan, tapi karena curah hujan yang tinggi,” sesal Wilianita.
Olehnya , ia mengharap seminar itu bukan hanya menjadi perbincangan horor, tapi bisa menjadi acuan pemerntah dalam mengatasi masalah ekologi.

Tolak Mamboro-Parigi,Dukung Kebun Kopi

Rabu, 22 Oktober 2008
Palu, Mercusuar- Eksekutif daerah (ED) Wahana Lingkungan hidup, Indonesia (Walhi) sulteng menyatakan lebih setuju jalur kebun kopi diperbaiki, ketimbang pembangunan jalur baru Palu-Parigi yang saat ini tengah direalisasikan.
Ada beberapa aspek yang dikemukakan LSM yang konsern di bidang lingkungan hidup, sehingga kurang mendukung upaya pemerintah daerah merealisasikan jalur Palu-Parigi.
Antara lain alasannya, pembukaan jalur yang menelan anggaran Rp.50 miliar itu kurang ditransparansikan menurut Walhi, seperti apa Detail Engineering Design (DED) proyeknya. Kemudian titik terang izin kawasan trace jalur tersebut yang dianggap akan semakin membuka akses perampokan hutan secara besar-besaran di kawasan itu, bila jalan Palu-Parigi dengan melewati kelurahan Mamboro mulai dikerja. Dan yang terakhir, dampak ekologi mesti ada yang bertanggung jawab untuk jaminannya ke depan. Direktur ED Walhi Sulteng, Wilianita Silviana, di Palu kemarin (21/10) mengkritik dasar pemikiran pemeriontah daerah (pemprov, pemkot, dan pemkab Parmount) yang begitu ngotot memperjuangkan jalur Palu-Parigi. Padahal sebagaimana bocoran dari tim teknis yang diterima Walhi, puncak ketinggian jalur itu 1.200 meter dari permukaan laut (MDPL). Untuk jalur kebun kopi sendiri hanya 600 MDL.
“ Kalau dari aspek kenyamaan berkendara, lebih bagus melewati jalur kebun kopi ketimbang jalan baru nanti,. Saya juga kurang yakin dengan trace lurusnya jalan, jangan-jangan hanya lurus di atas kertas (peta) saja tidak seperti nantinya di lapangan,” kata Lita, sapaan akrab aktivis perempuan yang dikenal vocal ini.
Jalur kebun kopi kata dia, akan lebih member dampak positif bila diperbaiki secara total. Packing-packing jalan dimaksimalkan pembuatannya kembali. Setelah itu dilakukan reboisasi hutan untuk mencegah longsor yang setiap musim hujan terjadi. Kecondongan Walhi untuk mendorong jalan kebun kopi digagas perbaikan total bukan tanpa alasan.
Menurut Lita, akan lebih hemat dari segi anggaran jika disbanding membuka jalur baru yang kabarnya butuh anggaran sekitar 100 miliar hingga tahap finishing. “Pertanyaannya sekarang, kenapa Pemda maunya jalan itu tetap dibuka. Ada dugaan dan ini sementara diinvestigasi, akan mengarah pada kepentingan tambang di Pboya. Simpel saja pertimbangannya, kenapa izin untuk buka jalan ada, toh untuk tambang tidak khan begitu,” tandas Lita.
Bahkan sebaliknya,sebelum dipindahkan pembukaan jalur dari Poboya-Parigi ke Mamboro –Parigi , Walhi juga diakui menolaknya. Di Poboya akan melewati taman hutan rakyat (Tahura) dan cagar ala, yang butuh izin pinjam pakai dari menteri kehutanan. Terlebih lagi di Tahura ada pemanfaatan hasil hutan oleh masyaraka, seperti mencari rotan untuk sumber kehidupan wara setempat.
Dikeahui, dana APBN pembukaan jalur penghubung antara dua daerah ini, juga bagian dari program instruksi presiden (Inpres) Percepatan Pembangunan Sulteng.
Pembukaan jalan ini, diyakini akan membuka akses perekonomian masyarakat. Untuk teknisnya, pelaksanaan pembangunan jalur Palu-Parigi akan dibuka dari Palu dan juga dari Parigi secara bersamaan, dimana penyelesaian pekerjannya dilakukan terpadu oleh dua instansi yang sama tetapi berlainan daerah itu.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Reklamasi Pantai di Banawa Korbankan Hutan Mangrove.

Sumber : RADAR SULTENG . SABTU 11-OKTOBER-2008

Reklamasi Pantai di Banawa Korbankan Hutan Mangrove.

Donggala. Kondisi hutan Mangrove di kabupaten Donggala makin memprihatinkan. Luas hutan mangrove mengalami Degradasi seiring dengan menjamurnya kegiatan reklamasi pantai di Kecamatan Banawa. Ironisnya pengerusakan salah satu Ekosistem yang mempunyai peranan Ekologis maupun Ekonomis di perairan juga dilakukan oleh Pemerintah daerah. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup ( Walhi ) Sulteng, Wilianita selviana melalui surat elektronik (E-Mail) Radar Sulteng Jumat (10/10). Lita, demikian dia akrab disapa menegaskan, pengurusan mangrove tidak hanya dilakukan pihak Swasta seperti CV Thekatulisindo, tapi juga dilakukan pemerintah daerah. Hal itu dapat dilihat dengan dibangunnya tempat pelelangan ikan atau TPI dengan cara me-reklamasi dan mengkonversi hutan mangrove Juli 2007 silam.

Awal tahun 2008 Pemkab Donggala kembali merusak Ekosistem mangrove dengan mereklamasi pantai. Alasannya untuk mendirikan terminal laut, padahal Pemda sudah telah memiliki satu Dermaga dan Satu TPI yang jika dimaksimalkan pemanfaatannya, juga dapat berfungsi sebagai Terminal laut. Berdasarkan Defenisinya kata Lita tujuan utama Reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna dan menjadi yang lebih baik dan bermanfaat . kawasan baru tersebut , biasanya dimanfaatkan untuk tempat membangun kawasan pemukiman , perindustrian dan pertokoan, pertanian serta Objek Wisata " Maka menjadi hal yang sangat Kontradiksi jika Pemda melakukan reklamasi diatas Ekosistem yang masih terjaga ," ungkap Lita.

Terkait masalah reklamasi yang dilakukan CV Thekatulisindo di Kelurahan Tanjung Batu, Lita menjelaskan secara Hukum kegiatan reklamasi baik dilakukan Pemda maupun CV Thekatulisindo bertentangan dengan peraturan Daerah Kabupaten Donggala Nomor 10 Tahun 2006 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah, dimana dalam Perda itu dicantumkan larangan melakukan kegiatan pembangunan Fisik yang dapat menimbulkan kerusakan Lingkungan dan kerugian masyarakat disekitarnya , serta larangan menggunakan metode dan cara apapun untuk merusak ekosistem mangrove yang ada.
Menariknya kata Lita ketika reklamasi CV Thekatulisindo mencuat Dinas Perhubungan Donggala justru mengaku perusahaan tersebut telah menyalahgunakan izin yang dieruntukkan bagi pembangunan sarana pemecah ombak.

Hal itu katanya sangat disayangkan, karena wilayah pesisir Banawa sebenarnya telah memiliki hutan mangrove sebagai sarana pemecah ombak alami, tapi Pemda melalui Dishub justru mengeluarkan izin pembangunan pemecah ombak dengan mengkonversi hutan mangrove tersebut. " Aneh memang disaat Pemda meributkan reklamasi yang dilakukan CV Thekatulisindo, Pemkab Donggala sendiri malah me-reklamasi pantai yang berada tepat disebelah lokasi reklamasi CV Thekatulisindo. Konversi hutan mangrove melalui kegiatan reklamasi dengan alasan apapun juga, akan membawa dampak yang sangat buruk bagi lingkungan maupun masyarakat.

Penebangan hutan mangrove berpotensi merusak ekosistem yang menyediakan tempat perlindungan dan tempat habitat aman bagi Larva dan Ikan-ikan kecil. Karena salah satu fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai nursery ground dan Spawning Ground atau
tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak bagi beberapa jenis ikan Komersial tertentu ," tegas Lita. Dampak lainnya kata Lit, dari konversi hutan mangrove adalah hilangnya
peredam ombak, arus serta penahan sedimen sehingga abrasi sulit dihindari. Selain itu dampak sosial yang timbul dirasakan oleh nelayan dan masyarakat pesisir. Dari hasil Investigasi lapangan yang dilakukan Walhi tegas LIta, beberapa nelayan di sekitar pesisir Pantai
Donggala, tepatnya di sekitar Tanjung Batu, Lokasi dimana sedang menjamurnya praktik reklamasi mengaku bahwa jumlah ikan tangkapan mereka makin menurun seiring dengan tingginya angka kegiatan reklamasi disekitar wilayah itu.

" kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemkab Donggala harus segera menghentikan kegiatan reklamasi yang merusak lingkungan tersebut. Sebaiknya Pemda melakukan pembongkaran lahan yang telah direklamasi dan melakukan penanaman mangrove diareal tersebut sebagai wujud Rehabilitasi Ekosistem mangrove yang telah rusak ,"
ungkapnya ." hal ini juga merupakan wujud komitmen Pemkab Donggala terhadap Implementasi Perda Nomor 10 Tahun 2006," pungkasnya.(Bil)

Rabu, 08 Oktober 2008

Public Release

Untuk Segera Disiarkan

Kamis, 9 Oktober 2008

Kontak : Wilianita Selviana

Telp : (0451) 423715

Email : walhisulteng@gmail.com,

sulteng@walhi.or.id

WALHI : DED Rencana Pembukaan Jalur Palu-Parigi Harus Transparan

Rencana pembukaan jalan poros Palu-Parigi sudah sejak lama direncanakan, yang mana tujuannya adalah untuk memperlancar jalur distribusi ekonomi antar kedua daerah, Parigi Moutong dan Kota Palu sebab jalan yang sudah ada atau jalur kebun Kopi dinilai sudah tidak layak lagi dan untuk melintasinya memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga perlu ada alternatif jalur lain yang lebih cepat. Pertimbangan ini perlu juga didasarkan pada kajian lingkungan yang lengkap, mengingat jalur yang sudah ada juga melewati kawasan lindung yakni pegunungan ferbek Sulawesi yang hingga hari ini dapat dilihat langsung dampaknya dengan kondisi jalan yang mudah longsor jika musim penghujan tiba bahkan sampai menelan korban jiwa.

Berdasarkan statement Kepala Bappeda Kota Palu tentang adanya pembukaan kawasan hutan terhadap pembukaan jalan poros Palu-Parigi ini, sehingga Walhi mengkhawatirkan akan melewati kawasan lindung yang dalam hal ini adalah kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) atau mungkin Cagar Alam Pangi Binangga (Kab. Parigi Moutong), yang kurang lebih kondisi wilayahnya hampir sama dengan jalur yang sudah ada. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, dampak yang timbul juga akan sama, seperti longsor bahkan banjir mengingat ada Daerah Aliran Sungai (DAS) di sekitar kawasan tersebut.

Sebelumnya tahun 2007 Walhi Sulawesi Tengah, telah mengajukan protes ke Menteri Kehutanan terkait dengan rencana pembukaan jalan poros Poboya-Parigi yang akan melintasi kawasan Taman hutan raya (Tahura) Palu, hal ini dikuatkan dengan dokumen Peta Survey Lokasi Jalan Palu-Parigimpu skala 1 : 500.000. Jika kemudian menteri Kehutanan merestui rencana pembukaan jalan poros Palu-Parigi yang melintasi kawasan Tahura Palu, sangatlah tidak konsisten dengan Surat Edaran yang disampaikan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 29 September 2006 Nomor : S.616 /Menhut-IV/2006 tentang Larangan Merubah Bentang Alam & Kawasan Hutan Konservasi yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota se-Indonesia.” Dalam surat tersebut ditegaskan larangan kepada kepala daerah se-Indonesia untuk :

1. Tidak menerbitkan rekomendasi dan atau izin terhadap
kegiatan penggunaan kawasan hutan konservasi yang bersifat merubah
bentang alam, antara lain untuk pembuatan jalan, pemukiman,
transmigrasi, dan pembangunan sarana fisik lainnya.

2. Tidak merekomendasikan perubahan fungsi atau status hutan
konservasi menjadi kawasan budidaya dalam penyusunan/review rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten/ Kota

Oleh karenanya, menyikapi hal tersebut Walhi berharap proyek ini tidak menjadi bagian dari proyek lain yang terkesan dipaksakan oleh Pemerintah Kota Palu. Selain itu juga, proyek ini berkemungkinan memberi peluang besar terhadap peningkatan aktivitas perambahan hutan karena akses terhadap kawasan hutan menjadi terbuka, bisa dilihat contoh kasus pada pembukaan Jalan Poros Parigi Moutong-Buol (Wanagading-Air Terang) tahun 2006 yang akhirnya dihentikan karena terdapat temuan illegal logging di lokasi proyek oleh perusahaan yang mengerjakan proyek tersebut. Kekhawatiran lain adalah proyek pembukaan jalan poros ini dijadikan sebagai pintu masuk untuk rencana pertambangan Emas Poboya oleh. PT. Bumi Resource yang seperti diketahui potensi mineralisasi emas di Kawasan Hutan Poboya yang akan dieksploitasi mencapai 2 (dua) Juta ons dengan luas penguasaan Kawasan Hutan mencapai 500 Ha, dimana kedalaman atau Garis Urat Cadangan mencapai 450 m dibawah Permukaan Tanah. Rencana sistim pertambangannya pun memakai tekhnik pertambangan Dalam dan Terbuka (Underground mining).

Sementara di daera hulu, Kawasan Hutan berfungsi sebagai kawasan konservasi, Hutan Lindung dan penyangga kehidupan sosial yang mempunyai peran hidrologis, ekologis dan keanekaragaman hayati termasuk mendukung perekonomian masyarakat. Yang mana hutan pegunungan kambuno terbukti banyak mendukung perekonomian sekitarnya, melalui pengambilan rotan, damar, tanaman obat, sayur dan buah-buahan. Begitupun Pengetahuan dan Kearifan masyarakat local yang lahir bersamaan dengan keberadaan “kawasan hutan”. Dapat dibayangkan kerusakan yang timbul seandainya kawasan konservasi saat ini dibuka menjadi areal pertambangan

Jika pemprov dan pemkot tetap memberikan legitimasi terhadap perusahaan untuk melanjutkan rencana penguasaan tambang di Tahura, dapat dipastikan hal ini akan memberikan kontribusi negatif terhadap sumber-sumber kehidupan baik yang berada di bagian Hulu (masyarakat Poboya) begitupun dampak buruk bagi masyarakat Hilir (Kota Palu).

Maka dari itu penting agar DED (Detail Engineering Desain) dan AMDAL Proyek pembukaan jalan poros Palu-Parigi ini harus transparan sehingga bisa dikritisi oleh pihak lain termasuk masyarakat sekitar kawasan hutan yang rentan terhadap dampak yang timbul di kemudian hari. Selain itu hal ini juga harus mencerminkan komitmen serius dari pemerintah terhadap upaya perlindungan kawasan hutan di Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah mengingat beberapa pertimbangan sebelumnya dan kondisi pada beberapa waktu lalu di Sulawesi Tengah mengalami bencana alam berupa banjir yang salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat perambahan hutan (destructive logging) di daerah ini.