WALHI SULTENG NEWS. PALU_ Banjir morowali bukanlah
siklus 25 tahunan, seperti statemen Bupati Morowali Anwar Hafid yang dilansir
SKH Radar Sulteng (30/07/2013) karena intensitas bencana banjir dan longsor
yang semakin meningkat itu berbanding lurus dengan meningkatnya ekspansi atau
perluasan investasi pertambangan dan perkebunan sawit di Kab. Morowali, jadi walhisulteng
mau bilang bahwa statemen Bupati Morowali tersebut menyesatkan dan berusaha
menutupi fakta kerusakan lingkungan yang massif disana.
Lebih lanjut lagi ia
mengatakan bahwa banjir di Morowali tidak ada hubungannya dengan pertambangan
yang ada di sana. Kami sangat mengecam apa yang di sampaikan oleh Anwar Hafid,
sampai saat ini kami tidak juga menemukan data apa yang di gunakan oleh bupati
tersebut.
Data walhi
sulteng menunjukan dari 6 kecamatan yang diterjang banjir hampir seluruhnya
terdapat aktifitas industri ekstraktif (pertambangan dan perkebunan) yang
tentunya juga merambah ribuan hektar kawasan hutan. Misalnya di Kec. Petasia
ada PT. Multi Pasific Resource yang melakukan aktifitas pertambangan di areal
seluas 4.779 Ha, PT. Rehobot Pratama Internusa pada areal seluas 495 Ha, PT.
Hotmen Internasional melakukan eksploitasi pada areal seluas 803 Ha, selain itu
ada perluasan perkebunan sawit milik PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) yang telah
mengkonversi lahan perkebunan dan juga hutan yang diperkirakan luasnya di atas
5000 Ha, selain PT. SJA juga ada PT. Agro Nusa Abadi (ANA) anak perusahaan
Astra Agro Lestari (AAL) yang membuka perkebunan sawit dengan menggunakan areal
tidak kurang dari 5000 Ha.
Menurut
Direktur WALHI SULTENG Ahmad Pelor Di
Kecamatan Bungku Utara banjir juga
dipicu oleh perambahan-perambahan kawasan hutan masa lalu, baik secara illegal
maupun secara legal (memiliki Izin). Misalnya sebutlah disana pernah beraktifitas
perusahaan pemilik IUP HHK atau HPH atas
nama PT. Bina Balantak Raya, PT. Tenaga Muda Jaya (atas nama Izin Pemanfaatan
Kayu/IPK), bahkan juga perambahan kawasan hutan dilakukan oleh PT. Kurnia Luwuk
sejati (KLS) milik Murad Husain yang melakukan perluasan perkebunan sawit di
wilayah tersebut pada pertengahan atau akhir tahun 90-an.
Di Kecamatn Bungku Tengah kerusakan hutan diakibatkan
eksploitasi nikel oleh PT. Bintang Delapan Mineral (BDM) yang memiliki konsesi
pertambangan seluas 21.695 Ha di wilayah tersebut. Di kecamatan yang lain
seperti Bungku Barat, Soyo jaya, dan Petasi Timur juga terjadi ekspansi
industri ekstraktif secara massif dengan kata lain tidak berbeda jauh dengan
kecamatan-kecamatan yang saya sebutkan di atas.
Jadi kesimpulannya menurut saya bahwa ekspansi
industri ekstraktif yang saya sebutkan di atas sebenarnya yang memicu banjir
bandang di Kab. Morowali. Dalam rangka ekspansi, perusahaan-perusahaan tersebut
tentunya juga merambah hutan ketika melakukan pembersihan lahan (land
clearing), perambahan yang saya maksud tidak hanya dilakukan secara legal
tapi juga dilakukan secara illegal.
Terakhir saya tegaskan kembali bahwa peristiwa
banjir dan longsor di Morowali bukanlah siklus tahunan seperti yang
dikatakan oleh Anwar hafid, tapi banjir bandang memang menunjukan bahwa kondisi
lingkungan di Kab. Morowali sudah semakin kritis, olehnya harus dilakukan
pembenahan kembali berbagai kebijakan pertambangan diwilayah tersebut, tentu
juga termasuk melakukan moratorium penerbitan
izin usaha pertambangan dan perkebunan.
Kami juga meminta kepada pihak-pihak terkait, baik di level provinsi maupun di
level pemerintah pusat untuk segera melakukan audit lingkungan di Kab.
Morowali. (AB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar