Rabu, 14 Agustus 2013

PERKEBUNAN SAWIT DAN TAMBANG PICU BANJIR MOROWALI


WALHI SULTENG NEWS. PALU_ Banjir morowali bukanlah siklus 25 tahunan, seperti statemen Bupati Morowali Anwar Hafid yang dilansir SKH Radar Sulteng (30/07/2013) karena intensitas bencana banjir dan longsor yang semakin meningkat itu berbanding lurus dengan meningkatnya ekspansi atau perluasan investasi pertambangan dan perkebunan sawit di Kab. Morowali, jadi walhisulteng mau bilang bahwa statemen Bupati Morowali tersebut menyesatkan dan berusaha menutupi fakta kerusakan lingkungan yang massif disana.

Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa banjir di Morowali tidak ada hubungannya dengan pertambangan yang ada di sana. Kami sangat mengecam apa yang di sampaikan oleh Anwar Hafid, sampai saat ini kami tidak juga menemukan data apa yang di gunakan oleh bupati tersebut.
Data walhi sulteng menunjukan dari 6 kecamatan yang diterjang banjir hampir seluruhnya terdapat aktifitas industri ekstraktif (pertambangan dan perkebunan) yang tentunya juga merambah ribuan hektar kawasan hutan. Misalnya di Kec. Petasia ada PT. Multi Pasific Resource yang melakukan aktifitas pertambangan di areal seluas 4.779 Ha, PT. Rehobot Pratama Internusa pada areal seluas 495 Ha, PT. Hotmen Internasional melakukan eksploitasi pada areal seluas 803 Ha, selain itu ada perluasan perkebunan sawit milik PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) yang telah mengkonversi lahan perkebunan dan juga hutan yang diperkirakan luasnya di atas 5000 Ha, selain PT. SJA juga ada PT. Agro Nusa Abadi (ANA) anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL) yang membuka perkebunan sawit dengan menggunakan areal tidak kurang dari 5000 Ha.
Menurut Direktur WALHI SULTENG Ahmad Pelor  Di Kecamatan Bungku Utara  banjir juga dipicu oleh perambahan-perambahan kawasan hutan masa lalu, baik secara illegal maupun secara legal (memiliki Izin). Misalnya sebutlah disana pernah beraktifitas perusahaan pemilik  IUP HHK atau HPH atas nama PT. Bina Balantak Raya, PT. Tenaga Muda Jaya (atas nama Izin Pemanfaatan Kayu/IPK), bahkan juga perambahan kawasan hutan dilakukan oleh PT. Kurnia Luwuk sejati (KLS) milik Murad Husain yang melakukan perluasan perkebunan sawit di wilayah tersebut pada pertengahan atau akhir tahun 90-an.
Di Kecamatn Bungku Tengah kerusakan hutan diakibatkan eksploitasi nikel oleh PT. Bintang Delapan Mineral (BDM) yang memiliki konsesi pertambangan seluas 21.695 Ha di wilayah tersebut. Di kecamatan yang lain seperti Bungku Barat, Soyo jaya, dan Petasi Timur juga terjadi ekspansi industri ekstraktif secara massif dengan kata lain tidak berbeda jauh dengan kecamatan-kecamatan yang saya sebutkan di atas.
Jadi kesimpulannya menurut saya bahwa ekspansi industri ekstraktif yang saya sebutkan di atas sebenarnya yang memicu banjir bandang di Kab. Morowali. Dalam rangka ekspansi, perusahaan-perusahaan tersebut tentunya juga merambah hutan ketika melakukan pembersihan lahan (land clearing), perambahan yang saya maksud tidak hanya dilakukan secara legal tapi juga dilakukan secara illegal. 
Terakhir saya tegaskan kembali bahwa peristiwa banjir dan longsor  di Morowali bukanlah siklus tahunan seperti yang dikatakan oleh Anwar hafid, tapi banjir bandang memang menunjukan bahwa kondisi lingkungan di Kab. Morowali sudah semakin kritis, olehnya harus dilakukan pembenahan kembali berbagai kebijakan pertambangan diwilayah tersebut, tentu juga termasuk  melakukan moratorium penerbitan izin usaha pertambangan  dan perkebunan. Kami juga meminta kepada pihak-pihak terkait, baik di level provinsi maupun di level pemerintah pusat untuk segera melakukan audit lingkungan di Kab. Morowali. (AB)




Tidak ada komentar: